Kebijakan daur ulang dan media sosial
Program daur ulang di "desa ramah lingkungan" didukung pemerintah daerah Kota Bandung dengan memberi imbalan kepada warga yang menyetorkan plastik bekas.
Pemerintah sudah menentukan harga setiap jenis plastik sehingga warga dapat memilah dan memilih plastik mana yang memiliki nilai jual dan tidak.
Sebetulnya, pemerintah optimis program daur ulang tersebut akan cepat tersebar, dengan harapan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya sampah plastik.
Akan tetapi, pemerintah menyadari bahwa tidak semua warga tertarik dengan program daur ulang itu karena mungkin masyarakat belum menyadari bahaya sampah plastik di masa depan.
Baca Juga: Bali Deklarasikan "Darurat Sampah", Apa yang Harus Dilakukan?
Yang baru berjalan saat ini adalah satu-satunya lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Bandung yang hanya menerima sebagian kecil dari limbah yang dihasilkan kota. TPA tersebut sudah melakukan proses daur ulang.
Sementara itu, aktivis lingkungan dari Greeneration, Mohammad Bijaksana Junerosano, berpendapat bahwa memecahkan masalah sampah plastik harus melibatkan seluruh pihak di masyarakat, termasuk penegakan hukum, pendidikan dan kesadaran sosial.
"Mendidik anak-anak agar mencintai lingkungan, juga harus diimbangi dengan perilaku masyarakat. Apabila mereka melihat lingkungannya masih rusak dan orang-orang membuang sampah sembarangan, anak-anak akan bingung. Hal ini membutuhkan kerja sama antara pendidikan dan juga penegakan hukum oleh masyarakat," katanya.
Pendapat Mohammad disetujui oleh Profesor Ad Ragas, ahli lingkungan hidup dari Universitas Radboud di Belanda.
Ragas berbagi pengalamannya kepada Shukman tentang peran sosial media untuk penanganan sampah.
Dua tahun lalu, saat Ragas menggelar sebuah lokakarya tentang polusi plastik di Bandung, pemerintah memandang masalah sampah plastik bukan sebagai ancaman serius. Namun, respons tersebut ternyata sudah berubah saat lokakarya serupa digelar sebulan lalu.
Penyebabnya adalah peranan sosial media yang menyebarkan gambar-gambar tentang sampah yang menggunung di sungai dan tampak kotor. Sosial media mampu merubah pola pikir seseorang.
"Mereka segera melihat bahwa 'Inilah penampakan sungai milik saya dan itu karena saya membuang sampah di sana' jadi mereka bisa segera melihat dampak dari perilaku mereka," kata Ragas.
Solusi berkelanjutan
Diakui atau tidak, krisis sampah plastik di Indonesia memang pelik. Salah satu buktinya adalah ketika para petugas selesai memunguti sampah dan hendak membuangnya ke Tempat Pembuangan Akhir, tidak ada satu pun truk yang mengangkut sampah.
Akhirnya, sampah terpaksa didorong menuju daerah hilir dan dibiarkan menjadi masalah di daerah lain.
Sementara itu, tak jauh dari Jakarta, khususnya di daerah sekitar pantai, Shukman melihat pemandangan sebuah kanal yang benar-benar tertutup oleh sampah plastik. Penduduk di sekitar lokasi mengeluhkan, setiap kali mereka mencoba membersihkan sampah, lebih banyak sampah datang lagi.
Garis pantai di wilayah tersebut juga benar-benar tertutup oleh tumpukan sampah plastik yang membentang lebih dari ratusan meter.
Melihat kondisi ini, Shukman berpendapat bahwa krisis sampah plastik di Indonesia mungkin masih butuh waktu lama untuk bisa diatasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.