Pada kunjungan kedua ini, Llardo membawa peralatan ilmiahnya.
"Pada kunjungan kedua, saya membawa mesin ultrasound portabel dan peralatan pengumpulan ludah. Kami berkeliling ke rumah yang berbeda dan mengambil citra limpa mereka," ujarnya dikutip dari National Geographic, Kamis (19/04/2018).
Ukuran Limpa dan Gen
Pemeriksaan ini juga dia lakukan pada suku Saluan yang mendiami salah satu wilayah di Sulawesi Selatan. Dia kemudian membandingkan kedua sampel setelah kembali ke Kopenhagen.
Hasilnya, ukuran rata-rata limpa suku Bajau 50 persen lebih besar daripada milik suku Saluan.
"Jika ada sesuatu yang terjadi pada tingkat genetik, Anda harus memiliki limpa berukuran tertentu. Di sana kami melihat perbedaan yang sangat signifikan," ujarnya.
Limpa merupakan salah satu organ terpenting dalam aktivitas menyelam. Itu karena limpa akan melepaskan lebih banyak oksigen ke dalam darah ketika tubuh sedang tertekan atau menahan napas dalam air.
Setelah mendapat temuan bahwa ukuran limpa yang lebih besar pada suku Bajo, Llardo tertarik pada alasan perbedaan tersebut. Untuk itu, dia mengnalisis lebih lanjut DNA suku tersebut.
Dari analisis tersebut, para peneliti menemukan gen yang disebut PDE10A pada suku Bajo. Uniknya, gen ini tidak ditemukan pada suku Saluan.
Baca juga: Cara Aman Menyelam agar Tak Rusak Pendengaran
Pada tikus, hormon tersebut dikaitkan dengan ukuran limpa. Beberapa tikus yang dimanipulasi agar punya hormon ini lebih sedikit menunjukkan ukuran limpa yang lebih kecil.
"PDE10A dikenal untuk mengatur hormon tiroid yang mengontrol ukura limpa, memberikan dukungan untuk gagasan bahwa suku Bajo mungkin mengembangkan ukuran limpa yang diperlukan untuk bertahan pada penyelaman yang panjang dan sering dilakukan," tulis para peneliti dalam laporan di jurnal Cell.
Bidang Medis
Llardo optimis bahwa penelitiannya punya implikasi dalam bidang medis atau kedokteran.
Respons menyelam mirip dengan kondisi medis yang disebut dengan hipoksia akut, di mana manusia mengalami kehilangan oksigen dengan cepat. Kondisi ini sering kali menjadi penyebab kematian di ruang gawat darurat.
Memahami bagaimana tubuh bereaksi terhadap kehilangan oksigen bisa menjadi jalan untuk lebih baik mencari penanganan terbaik.
Dengan kata lain, mempelajari suku Bajo secara efektif bisa menjadi laboratorium baru untuk memahami hipoksia.
"Ini benar-benar memberi tahu kita betapa berharga dan penting penduduk pribumi yang hidup dengan gaya hidup ekstrem di seluruh dunia," ungkap Eske Willerslev, co-author dalam penelitian ini.
Pendapat ini juga diamini oleh Llardo.
"Suku Bajo dan pengembara laut lain sangat luar biasa dan saya ingin bisa membuktikan hal itu pada dunia," katanya.
Baca juga: Yang Harus Diperhatikan Ketika Menyelam
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.