KOMPAS.com — Pernahkah Anda menghitung berapa lama Anda bisa menahan napas di dalam air? Mungkin 10, 20, hingga ratusan detik.
Saat Anda menahan napas dalam air, tubuh Anda secara otomatis memicu yang disebut dengan respons menyelam. Respons tersebut membuat denyut jantung melambat, pembuluh darah menyempit, dan kontraksi limpa.
Reaksi-reaksi tersebut membantu tubuh untuk menghemat energi saat kita kekurangan oksigen.
Kebanyakan orang hanya bisa menahan napas dalam hitungan detik. Tapi, ini tidak berlaku bagi suku Bajo yang hidupnya berpindah di perairan sekitar Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
Mereka bisa melakukan selam bebas atau tanpa bantuan alat selama 13 menit. Bahkan, mereka bisa menyelam hingga kedalaman 70 meter.
Dengan kata lain, mereka bisa menahan napas di bawah air selama 13 menit.
Ini mungkin dipengaruhi kebiasaan mereka menyelam untuk menangkap ikan, gurita, hingga kepiting. Uniknya, penyelaman yang setiap hari mereka lakukan ini tanpa bantuan alat modern dan hanya berbekal tombak untuk mendapatkan buruannya.
Kebiasaan suku Bajo yang tak biasa ini mendapat perhatian dari para peneliti. Salah satunya adalah Melissa Llardo, seorang kandidat doktor di Pusat GeoGenetika, University of Copenhagen.
Llardo penasaran apakah orang-orang suku Bajo telah beradaptasi secara genetis agar bisa menghabiskan waktu lebih lama di dalam air.
Untuk itu, Llardo menghabiskan beberapa bulan di Jaya Bakti, Indonesia, mengamati suku ini. Dia dibantu oleh seorang penerjemah untuk penelitiannya ini.
Llardo juga membandingkan kebisaan suku Bajo dengan suku lain yang tidak punya kebiasaan menyelam, yaitu suku Saluan.
"Saya menghabiskan seluruh kunjungan pertama saya ke Jaya Bakti untuk memperkenalkan diri, proyek, dan ilmu pengetahuan yang mendasarinya," ujar Llardo dikutip dari AFP, Kamis (19/04/2018).
"Saya ingin memastikan bahwa mereka mengerti apa yang saya minta dari mereka sehingga mereka bisa membantu mengarahkan proyek ini sebagai cerminan ketertarikan mereka. Mereka sangat bersemangat dan ingin tahu tentang penelitian ini," imbuhnya.
Baca: Analisis DNA Deteksi Asal-usul Suku Bajo
Demi memperlancar penelitiannya, Llardo kemudian belajar bahasa Indonesia agar bisa berkomunikasi langsung dengan suku Bajo.
Pada kunjungan kedua ini, Llardo membawa peralatan ilmiahnya.
"Pada kunjungan kedua, saya membawa mesin ultrasound portabel dan peralatan pengumpulan ludah. Kami berkeliling ke rumah yang berbeda dan mengambil citra limpa mereka," ujarnya dikutip dari National Geographic, Kamis (19/04/2018).
Ukuran Limpa dan Gen
Pemeriksaan ini juga dia lakukan pada suku Saluan yang mendiami salah satu wilayah di Sulawesi Selatan. Dia kemudian membandingkan kedua sampel setelah kembali ke Kopenhagen.
Hasilnya, ukuran rata-rata limpa suku Bajau 50 persen lebih besar daripada milik suku Saluan.
"Jika ada sesuatu yang terjadi pada tingkat genetik, Anda harus memiliki limpa berukuran tertentu. Di sana kami melihat perbedaan yang sangat signifikan," ujarnya.
Limpa merupakan salah satu organ terpenting dalam aktivitas menyelam. Itu karena limpa akan melepaskan lebih banyak oksigen ke dalam darah ketika tubuh sedang tertekan atau menahan napas dalam air.
Setelah mendapat temuan bahwa ukuran limpa yang lebih besar pada suku Bajo, Llardo tertarik pada alasan perbedaan tersebut. Untuk itu, dia mengnalisis lebih lanjut DNA suku tersebut.
Dari analisis tersebut, para peneliti menemukan gen yang disebut PDE10A pada suku Bajo. Uniknya, gen ini tidak ditemukan pada suku Saluan.
Pada tikus, hormon tersebut dikaitkan dengan ukuran limpa. Beberapa tikus yang dimanipulasi agar punya hormon ini lebih sedikit menunjukkan ukuran limpa yang lebih kecil.
"PDE10A dikenal untuk mengatur hormon tiroid yang mengontrol ukura limpa, memberikan dukungan untuk gagasan bahwa suku Bajo mungkin mengembangkan ukuran limpa yang diperlukan untuk bertahan pada penyelaman yang panjang dan sering dilakukan," tulis para peneliti dalam laporan di jurnal Cell.
Bidang Medis
Llardo optimis bahwa penelitiannya punya implikasi dalam bidang medis atau kedokteran.
Respons menyelam mirip dengan kondisi medis yang disebut dengan hipoksia akut, di mana manusia mengalami kehilangan oksigen dengan cepat. Kondisi ini sering kali menjadi penyebab kematian di ruang gawat darurat.
Memahami bagaimana tubuh bereaksi terhadap kehilangan oksigen bisa menjadi jalan untuk lebih baik mencari penanganan terbaik.
Dengan kata lain, mempelajari suku Bajo secara efektif bisa menjadi laboratorium baru untuk memahami hipoksia.
"Ini benar-benar memberi tahu kita betapa berharga dan penting penduduk pribumi yang hidup dengan gaya hidup ekstrem di seluruh dunia," ungkap Eske Willerslev, co-author dalam penelitian ini.
Pendapat ini juga diamini oleh Llardo.
"Suku Bajo dan pengembara laut lain sangat luar biasa dan saya ingin bisa membuktikan hal itu pada dunia," katanya.
https://sains.kompas.com/read/2018/04/22/120500923/suku-bajo-manusia-pertama-yang-beradaptasi-genetik-untuk-menyelam