Selanjutnya, untuk dokter, temuan baru itu mesti dibahas dalam kologium bidang kedokteran tersebut. Diskusi rekan sejawat akan menghasilkan keputusan akan dibawa ke mana temuan tersebut.
"Lalu untuk menetapkan apakah temuan tersebut boleh sebagai pelayanan kesehatan, ini kewenangan HTA," ujar Bambang.
PB IDI bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan melalui Health Technology Assessment (HTA) untuk menguji metode pengobatan. HTA merupakan lembaga di bawah Kementerian Kesehatan yang bertugas menguji teknologi pengobatan kesehatan yang terbaru.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi), Prof Dr dr Moh Hasan Machfoed, SpS(K), MS pada Senin (9/4/2018), menyebutkan bahwa prosedur sebuah pengobatan baru hingga boleh diterapkan kepada pasien.
"Pertama kali, pengobatan itu diterapkan ke jaringan hewan. Lalu kalau berhasil diujikan ke jaringan manusia. Satu tahap pengujian bisa puluhan tahun," ujar Hasan.
Setelah tampak keberhasilan pada jaringan manusia, pengujian berlanjut untuk dicoba ke tubuh hewan. Misalnya obat, disuntikkan atau diminumkan ke hewan. Lalu jika itu terapi, metodenya dijalankan ke tubuh hewan tersebut.
Selanjutnya jika berhasil, langkah berikutnya adalah mencoba pengobatan baru itu ke tubuh manusia secara acak yang memiliki keluhan seperti yang ditawarkan pengobatan tersebut. Proses ini tidak berlangsung instan dan perlu berkali-kali pengujian karena ada peluang kegagalan. Jika gagal tentu diulang dari awal.
Baca juga: Stroke, Terawan dan Cuci Otak, Bagaimana Masyarakat Harus Bersikap?