KOMPAS.com - Dua kali dalam sebulan terakhir, istilah megathrust populer, dikaitkan dengan guncangan gempa di Jakarta dan potensi Pandeglang yang dalam skenario terburuk mencapai ketinggian 57 meter.
Namun, apa sebenarnya megathrust itu sendiri serta wilayah Indonesia mana yang berpotensi terdampak?
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono, mengungkapkan, megathrust bisa diartikan sesuai dengan kata penyusunnya.
"Thrust" merujuk pada salah satu mekanisme gerak lempeng yang menimbulkan gempa dan memicu tsunami, yaitu gerak sesar naik.
Dengan demikian, megathrust bisa diartikan gerak sesar naik yang besar. Mekanisme gempa itu bisa terjadi di pertemuan lempeng benua. Dalam geologi tektonik, wilayah pertemuan dua lempeng ini disebut zona subduksi.
Menurut Daryono, Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, zona megathrust terbentuk ketika lempeng samudera bergerak ke bawah menunjam lempeng benua dan menimbulkan gempa bumi.
"Zona subduksi ini diasumsikan sebagai sebuah zona “patahan naik yang besar” atau populer disebut zona megathrust," kata Daryono kepada Kompas.com, Sabtu (7/4/2018).
Baca Juga: Gempa Megathrust Selatan Jawa, Guncangannya Bisa Merusak Jakarta
Jalur subduksi cukup panjang dengan kedalaman sekitar 50 kilometer, mencakup seluruh bidang kontak antarlempeng. Zona megathrust di Indonesia bukan hal baru karena sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan.
Sebagai sebuah area sumber gempa, maka zona ini dapat memunculkan gempa bumi dengan berbagai magnitudo dan kedalaman.
Gempa megathrust dianggap menakutkan karena dianggap selalu bermagnitudo besar dan memicu tsunami. "Namun demikian, data menunjukkan sebagian besar gempa yang terjadi di zona megathrust adalah gempa kecil dengan kekuatan kurang dari 5,0," kata Daryono.
Menurut Daryono, yang terlibat dalam Pusat Studi Gempa Nasional (PUSGEN) 2017, di Indonesia terdapat 16 titik gempa megathrust yang tersebar di sejumlah titik, yaitu:
1. Aceh-Andaman
2. Nias-Simeulue
3. Kepulauan Batu,
4. Mentawai-Siberut
5. Mentawai–Pagai
6. Enggano
7. Selat Sunda Banten
8. Selatan Jawa Barat
9. Selatan Jawa Tengah-Jawa Timur
10. Selatan Bali
11. Selatan NTB
12. Selatan NTT
13. Laut Banda Selatan
14. Laut Banda Utara
15. Utara Sulawesi
16. Subduksi Lempeng Laut Pilipina
Baca Juga: Gempa Bumi, Mungkinkah Diprediksi?
Daryono mengungkapkan, berdasarkan kajian kegempaan, setiap zona suibduksi punya potensi gempa yang berbeda-beda. Besarnya gempa yang kemudian terjadi tak bisa diprediksi dan sangat bergantung pada gerak serta kedalamannya.
"Khusus segmen megathrust di selatan Jawa Barat dan Banten, wilayah ini memiliki potensi magnitudo maksimum M 8,8," katanya.
Tidak setiap gempa megathrust menimbulkan tsunami. Tsunami punya syarat, yaitu gempa besar, hiposenter dangkal dan gerak sesar naik.
Para ahli dan instansi terjadi tanggap darurat bencana terus melakukan penelitian dan pembaharuan data peta kerawanan gempa.
"Jika terjadi gempa yang magnitudonya lebih besar dari gempa-gempa yang pernah terjadi sebelumnya, maka akan merubah titik-titik kerawanan. Untuk itulah perlumya dilakukan pemutakhiran Peta Sumber dan Bahaya Gempa di Indonesia pada periode waktu tertentu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.