Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/03/2018, 11:10 WIB
Shela Kusumaningtyas,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

“Mereka selalu bilang aku harus lebih sabar dan semangat lagi. Memperbanyak salat. Mereka sebagai mahasiswa kedokteran seharusnya kan paham bipolar ini,” keluh Vindy.

Beruntungnya Vindy memiliki teman dekat yang mengerti kondisinya. Di tengah fase depresi parah, Vindy punya telinga teman untuk mendengar keluhannya.

Ini semua agar Vindy tidak sampai menghabiskan uang dan energi. Pasalnya, Vindy pernah menghamburkan jutaan rupiah dalam waktu sehari hanya untuk belanja, karaoke, dan mentraktir kawan-kawannya ketika tengah hipomania atau depresi.

Seiring waktu, penerimaan dari keluarga pun semakin membaik. Sang adik, yang lulusan jurusan psikologi di bangku kuliah, tidak malu memiliki kakak sepertinya.

Baca juga : Autis, Bipolar, dan Skizofrenia Ternyata Punya Kemiripan Gen

Kata Vindy, sang adik selalu berhasil meredam emosi Vindy dengan cara mengajaknya mencicipi kuliner, membangkitkan semangat Vindy, dan menumbuhkan kepercayaan diri Vindy.

Ibunya pun kini selalu memantau perkembangan Vindy dan rutin menanyakan apakah Vindy telah meminum obat.

Hapus Stigma

Kendati perhatian dari keluarga dan teman telah ia peroleh, Vindy masih harus menjumpai stigma buruk dari masyarakat.

Setiap kali ia kontrol ke rumah sakit, kata Vindy, ada saja pengunjung yang memincingkan mata karena dia memasuki poli kejiwaan.

Vindy dan kawan komunitas bipolarnya pun pernah mendengar celetukan miring saat sedang berkampanye pada hari tanpa kendaraan.

“Komunitas sebelah bilang ke pengunjung, jaga kesehatan. Supaya tidak gila kayak komunitas itu, sambil menunjuk ke arah komunitasku,” ujar Vindy.

Vindy tidak menanggapi secara serius stigma yang ditujukan kepadanya. Namun ia berharap supaya masyarakat mau mengerti dan merangkul penderita bipolar secara manusiawi.

Peran masyarakat, kata Vindy dibutuhkan agar rekannya sesama pengidap bipolar tidak menyembunyikan kondisinya.

Selama ini, para penderita bipolar enggan berkonsultasi ke psikiater karena tidak sanggup menerima cemohan dari masyarakat. Selain itu, tidak semua penderita bipolar memiliki keluarga yang mendorong untuk berobat.

30 Maret 2018 adalah peringatan Hari Bipolar Sedunia. Saatnya lebih melek tentang bipolar dan menghapus stigma.

Baca juga : Temuan Baru Ungkap Tanda-tanda Awal dari Ganguan Bipolar  

 

 

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau