KOMPAS.com - Ketika seseorang tertimpa masalah lantas menceritakan itu ke kawan yang lain, acapkali respons yang diperoleh justru semakin menghakimi orang tersebut.
Begitulah yang dialami para pengidap gangguan bipolar. Pengakuan ini datang dari Vindy Ariella (27 tahun), perempuan yang kini menekuni dunia seni sebagai jalan hidupnya.
Vindy diketahui memiliki gangguan bipolar sejak tahun 2009. Ia mengetahuinya setelah sekian lama mengalami depresi akut, mendatangi psikiater, hingga mencari referensi sendiri.
Awalnya, dia diberi sejumlah obat yang harus diminum selama 6 bulan. Di tengah periode itu, dia berhenti minum. Dia pikir dia sudah sembuh karena depresi sudah berhenti.
“Sisi lain dari depresi malah muncul setelah itu. Itu fase hipomanik yang timbul. Aku menjadi irritable, sensian, dan impulsif,” ungkap Vindy pada Sabtu (24/3/2018) ditemui di sebual mall di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan.
Akhirnya dia mendatangi psikiater yang berbeda. Lagi-lagi dia belum diberitahu kondisi yang sesungguhnya.
Obat-obatan untuk menstabilkan mood diberikan kepadanya. Vindy masih terus bertanya apa yang terjadi pada dirinya.
Penerimaan
Berlatar pendidikan kedokteran, ia pun menemukan bahwa yang dialaminya sebenarnya ialah gangguan bipolar. Psikiater pun berterus-terang padanya.
Baca juga : Sepotong Kisah Pelukis Van Gogh sebagai Seorang Bipolar
“Keluarga awalnya belum menerima. Mana ada orang tua yang mau anaknya seperti ini,” kata Vindy.
Keluarga bahkan menganggap diagnosis psikiater adalah sesuatu yang berlebihan. Keluarga mengira bipolar adalah dampak kurangnya keyakinan Vindy terhadap Tuhan.
Tak hanya keluarga, teman-teman sekitarnya pun meremehkan apa yang dia alami. Lingkungan menilai Vindy lemah dengan masalah yang menghadangnya .
Ia terus dihantui komentar bahwa masalahnya sepele dan masih banyak masalah orang lain yang lebih berat darinya.
Suati kali, Vindy ingin masuk ke sebuah kelas kuliah setelah lama ijin. Ia melihat sepasang mata tertuju padanya.
Pandangan itu, kata Vindy merupakan bentuk bahwa ia dianggap aneh lantaran kondisinya dengan bipolar. Rupanya teman-temannya menjadi tahu karena surat sakit yang ia sampaikan untuk ijin bolos kuliah bocor dan tersebar.
“Mereka selalu bilang aku harus lebih sabar dan semangat lagi. Memperbanyak salat. Mereka sebagai mahasiswa kedokteran seharusnya kan paham bipolar ini,” keluh Vindy.
Beruntungnya Vindy memiliki teman dekat yang mengerti kondisinya. Di tengah fase depresi parah, Vindy punya telinga teman untuk mendengar keluhannya.
Ini semua agar Vindy tidak sampai menghabiskan uang dan energi. Pasalnya, Vindy pernah menghamburkan jutaan rupiah dalam waktu sehari hanya untuk belanja, karaoke, dan mentraktir kawan-kawannya ketika tengah hipomania atau depresi.
Seiring waktu, penerimaan dari keluarga pun semakin membaik. Sang adik, yang lulusan jurusan psikologi di bangku kuliah, tidak malu memiliki kakak sepertinya.
Baca juga : Autis, Bipolar, dan Skizofrenia Ternyata Punya Kemiripan Gen
Kata Vindy, sang adik selalu berhasil meredam emosi Vindy dengan cara mengajaknya mencicipi kuliner, membangkitkan semangat Vindy, dan menumbuhkan kepercayaan diri Vindy.
Ibunya pun kini selalu memantau perkembangan Vindy dan rutin menanyakan apakah Vindy telah meminum obat.
Hapus Stigma
Kendati perhatian dari keluarga dan teman telah ia peroleh, Vindy masih harus menjumpai stigma buruk dari masyarakat.
Setiap kali ia kontrol ke rumah sakit, kata Vindy, ada saja pengunjung yang memincingkan mata karena dia memasuki poli kejiwaan.
Vindy dan kawan komunitas bipolarnya pun pernah mendengar celetukan miring saat sedang berkampanye pada hari tanpa kendaraan.
“Komunitas sebelah bilang ke pengunjung, jaga kesehatan. Supaya tidak gila kayak komunitas itu, sambil menunjuk ke arah komunitasku,” ujar Vindy.
Vindy tidak menanggapi secara serius stigma yang ditujukan kepadanya. Namun ia berharap supaya masyarakat mau mengerti dan merangkul penderita bipolar secara manusiawi.
Peran masyarakat, kata Vindy dibutuhkan agar rekannya sesama pengidap bipolar tidak menyembunyikan kondisinya.
Selama ini, para penderita bipolar enggan berkonsultasi ke psikiater karena tidak sanggup menerima cemohan dari masyarakat. Selain itu, tidak semua penderita bipolar memiliki keluarga yang mendorong untuk berobat.
30 Maret 2018 adalah peringatan Hari Bipolar Sedunia. Saatnya lebih melek tentang bipolar dan menghapus stigma.
Baca juga : Temuan Baru Ungkap Tanda-tanda Awal dari Ganguan Bipolar
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.