Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sutopo BNPB, Cerita tentang Kanker Paru dan Semangatnya yang Tak Padam

Kompas.com - 16/02/2018, 13:30 WIB
Shela Kusumaningtyas,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sempat terkejut tatkala dokter menyatakan dirinya divonis mengidap penyakit kanker paru-paru pada 17 Januari 2018.

Ini dia ceritakan saat Kompas.com berkunjung ke ruangannya di Gedung BNPB di Pramuka, Jakarta, pada Kamis (15/2/2018).

Kala itu, dia berkunjung ke Rumah Sakit Mitra Keluarga tanpa ditemani orang lain.  Dokter lantas menganjurkannya untuk langsung menjalani tindakan biopsi dan kemoterapi. Namun Sutopo tidak lantas mengiyakan. Pasalnya ia harus memberitahukan sang istri terlebih dahulu.

“Dokter bilang, kanker sudah stadium empat dan menyebar ke organ lain. Saya sempat terkejut. Kanker pasti hal yang menakutkan di bayangan,” ujar pakar bidang penanganan bencana ini.

Bercerita, Sutopo lantas merunut kembali bagaimana dia berinisiatif memeriksakan diri hingga akhirnya diketahui mengidap kanker paru-paru.

Pada rentang bulan November hingga Desember 2017, Sutopo tengah sibuk-sibuknya mengurusi lalu-lintas informasi seputar Gunung Agung meletus.

Di tengah aktivitasnya yang padat, Sutopo tiba-tiba merasakan pinggang kiri nyeri.  Tak hanya itu, batuk yang diidapnya selama lebih dari sepekan tak kunjung sembuh.

Nyeri yang dia keluhkan itu membuatnya khawatir. Ia menyangka, gejala tersebut merupakan bagian dari penyakit jantung.

Pria kelahiran Boyolali ini kemudian mengecek jantungnya. Dokter menyatakan, sehat dan normal.

Dokter jantung lantas merujuknya ke spesialis penyakit dalam sehingga kondisi lambungnya bisa diperiksa. Dokter mengira, asam lambung yang naik memicu batuk. Setelah itu, Sutopo mendapat obat yang harus diminum.

“Dua mingguan obat habis, tapi batuknya enggak mereda. Saya khawatir. Ada teman yang tidak merokok, gemar berolahraga,dan bergaya hidup sehat. Namun ia diketahui kena kanker paru,” ungkap Sutopo.

Dengan kesadaran sendiri, Sutopo kemudian berkonsultasi dengan dokter paru-paru. Pemeriksaan sinar X, cek darah, dan CT-Scan, dilakukan atas saran dokter.

Dari hasil tindakan medis tersebut, akhirnya Sutopo mengetahui bahwa pemicu nyeri pinggang dan batuk yang ia alami adalah kanker paru-paru dan telah menjalar. Sutopo enggan memberitahu ke bagian mana kanker menjalar.

Baca juga : Sulitnya Deteksi Kanker Paru seperti Diderita Kepala Humas BNPB Sutopo

“Saya memang perokok pasif. Lingkungan sekitar banyak yang merokok. Kalau saya tidak. Kata dokter bisa jadi karena itu penyakitnya,” tutur Sutopo.

Sutopo pun mengakui, ia memang sudah sering menderita batuk yang tidak lekas sembuh. Sementara nyeri pinggang dan dada sudah ia alami sejak SMA.

Ia mengira, kondisi tersebut akan sembuh dengan sendirnya. Ia bahkan sempat kepikiran posisi tidur yang salah yang membuatnya terkena gangguan punggung.  

“Saya kira saraf atau tulang yang kena soalnya kan nyeri. Kalau batuk yang kambuhan, hilang gitu. Kalau dikasih minum obat sirup yang beredar di pasaran, biasanya batuk sembuh. ,” ujar Sutopo.

Penurunan berat badan yang menjadi gejala kanker paru-paru tidak ia alami. Batuk dan nyeri itulah yang membawanya pergi berkonsultasi ke dokter paru.

Berobat hingga Malaysia

Setelah dinyatakan positif kanker paru-paru, Sutopo menjalani berbagai rangkaian pengobatan. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga hingga Malaysia.

Dia berangkat ke Malaysia pada 22 Januari 2018 setelah mendengar ada rumah sakit berkualitas yang menjadi rujukan rekannya ketika sakit kanker paru.  

“Di Rumah Sakit Mahkota Melaka, saya diperiksa berdasarkan hasil CT Scan di Jakarta. Saya di Jakarta CT Scan pada 16 Januari 2018. Saya dibiopsi,” ujar Sutopo.

Di Malaysia, Sutopo menjalani ulang tes sinar X yang hasilnya memang terdapat benjolan di paru-paru.

Biopsi untuk mengambil sampel jaringan kanker paru-paru pun ia dapatkan. Sampel tersebut dianalisis di Kuala Lumpur. Pihak Rumah Sakit Mahkota Melaka menjanjikan proses tersebut rampung selama dua minggu.

“Hasil lab ini untuk menentukan obatnya apa. Dokter Malaysia minta saya dikemo. Udah mau dikemo harusnya, tapi urung dilaksanakan,” tutur Sutopo.

Baca juga : Mengenal Faktor Risiko Kanker Paru lewat Kasus Humas BNPB Sutopo

Rencana untuk kemoterapi pada 25 Januari 2018 dibatalkan setelah berdiskusi dengan istri. Sang istri memintanya mempertimbangkan ulang karena khawatir dampak mual muntah setelah kemoterapi.

Sang istri memintanya berobat di Jakarta karena dari segi pelayanan dan kualitas tidak kalah dengan di Jakarta.

Selain itu, apabila kemoterapi tetap dilakukan di Malaysia, Sutopo harus mengurusi kebutuhan pribadinya sendiri padahal kemoterapi berdampak pada penurunan stamina. Jarak dan waktu tempuh Malaysia dan Jakarta turut masuk dalam faktor dibatalkannya kemoterapi di Malaysia.

“Tanggal 25 Januari 2018 pagi, saya pulang ke Indonesia. Di Indonesia, awal Februari 2018 saya ke Rumah Sakit Dharmais, yang menjadi rujukan kanker,” kata Sutopo.

Di rumah sakit kanker nasional tersebut, Sutopo mendapat tindakan PET-Scan untuk memeriksa organ tubuh hingga ke tulang-tulang.

Dokter memintanya menanti perkembangan pemeriksaan dari Malaysia. Proses analisis EFGR memang butuh waktu lebih dari tiga mingguan, bisa sampai empat minggu.

“Saat ini masih tindakan disinar. Kalau untuk kemoterapi harus atau enggak, masih menunggu hasil EFGR dari Malaysia,” ujarnya.

Selain pengobatan medis, Sutopo juga mengambil opsi alternatif yakni pengobatan herbal. Setiap hari, ia meminum jus racikan sang istri yang terbuat dari aneka rempah dan sayuran. Jus tersebut biasanya berisi bawang putih hitam, buah naga, wortel, dan campuran rempah lain.

Tetap Bekerja

Meski menderita kanker paru, Sutopo menyatakan tetap akan bekerja seperti biasa, memberikan informasi kebencanaan.

"Diniatkan ibadah. Saya akan bekerja seperti biasa, melayani wartawan yang akan wawancara," katanya.

Sutopo sempat absen ketika jakarta sibuk dengan banjir beberapa waktu lalu. Dia mengaku menyesal karena masyarakat kurang mendapatkan informasi secara cepat dan akurat.

Meski tetap bekerja, Sutopo pun harus berkompromi dengan kondisi fisiknya. Untuk wawancara misalnya, dia akan memilih dilakukan di kantornya, bukan di studio media massa.

Sutopo pun akan mengurangi intensitas bepergian ke luar kota agar kondisi fisiknya tetap stabil.

Pola makan Sutopo pun kini dubah. Dia mulai mengganti menu makan sehari-hari menjadi kaya sayuran dan minim protein hewani.

Seperti yang dibawa pada Kamis (15/2/2018), bekal Sutopo adalah brokoli, bayam merah, serta potongan telur rebus tanpa kuningnya.

Sutopo sejauh ini juga menjajal buah merah, sarang semut, dan aneka pemberian kolega yang peduli dengan dirinya.

“Dokter ketika saya tanyai, selalu mengatakan tidak apa-apa makan semua. Kecuali daging-daging dikurangi. Selama ini bingung terlalu banyak baca soal mana yang boleh atau enggak. Banyak juga dengar dari orang sekitar tentang yang dipantang,” tutupnya. 

Baca juga : Kanker Paru-paru di Asia Sulit Dijinakkan, Ahli Temukan Sebabnya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau