Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ridha Aditya Nugraha
Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya

Manajer Riset dan Kebijakan Air Power Centre of Indonesia, Jakarta. Anggota German Aviation Research Society, Berlin. Saat ini berkarya dengan mengembangkan hukum udara dan angkasa di Air and Space Law Studies - International Business Law Program, Universitas Prasetiya Mulya. Tenaga ahli sekaligus pemateri di Institute of Air and Space Law Aerohelp, Saint Petersburg. Sebelumnya sempat berkarya pada suatu maskapai penerbangan Uni Eropa yang berbasis di Schiphol, Amsterdam.

Melahirkan Generasi "Spacepreneur" di Indonesia

Kompas.com - 27/01/2018, 20:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorShierine Wangsa Wibawa

Beralih ke lautan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah mendayagunakan satelit penginderaan jauh (remote sensing) guna membantu para nelayan tradisional.

Penguasaan teknologi dan modal mereka umumnya masih minim. Jadi, jangan dibandingkan dengan kapal nelayan asing yang modern dan lengkap teknologinya.

Kontribusi LAPAN bagi para nelayan tradisional ialah dengan membuka akses informasi akan lokasi keberadaan ikan; nama lainnya Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI). Tujuannya ialah mengubah paradigma "melaut untuk mencari ikan" menjadi "melaut untuk menangkap ikan". Maka nelayan seyogianya baru akan melaut ketika citra satelit menunjukkan hasil positif.

Alhasil, program tersebut telah menurunkan waktu melaut nelayan dan mengefisiensikan biaya operasional hingga 30 persen pada beberapa daerah. Kesejahteraan meningkat, demikian pula waktu berkumpul bersama keluarga.

Sayangnya, belum seluruh nelayan tradisional dapat terakomodasi dengan maksimal, mengingat Indonesia yang begitu luas dan tingkat kesiapan masing-masing pemerintah daerah yang menjadi perpanjangan tangan LAPAN.

Ke manakah arah spacepreneur Indonesia?

Dua kasus nyata tersebut menggambarkan peluang akan terciptanya spacepreneur di Indonesia. Penginderaan jauh berpotensi disulap menjadi bisnis yang menggiurkan.

Dewasa ini, jasa penyediaan citra satelit dipatok sekitar puluhan dollar Amerika Serikat per kilometer persegi. Bayangkan potensi pendapatan dengan memperhatikan luas dan kontur geografis Indonesia.

Peluang untuk bermitra dengan instansi pemerintah sangat menjanjikan; mulai dari turut menjaga pulau-pulau kecil terluar bersama Badan Nasional Pengelola Perbatasan, mengidentifikasi ladang ganja bersama Badan Nasional Narkotika, membantu Kementerian Keuangan mengawasi objek pajak, hingga turut membasmi illegal fishing sekaligus pelanggaran batas wilayah bersama instansi terkait.

Jangan bayangkan harus menggunakan satelit konvensional semacam BRISat yang biayanya di atas Rp 1 triliun.

Saat ini, telah dikenal nano-satellite yang beratnya berkisar 1-10 kilogram. Benda ini mampu mengambil foto dengan resolusi tinggi dan harganya masih terjangkau, yakni di kisaran miliaran rupiah untuk sampai ke orbit. Anggaplah seharga satu apartemen mewah.

Spacepreneur tidak hanya tentang wisata antariksa yang dipelopori Virgin Galactic SpaceShipTwo milik Richard Branson, atau SpaceX milik Elon Musk yang berambisi menjadikan manusia sebagai makhluk multiplanet. Bagi negara berkembang, spacepreneur juga dapat tetap membumi.

Jika dikaitkan dengan keadaan Indonesia, spacepreneur ialah soal memanfaatkan ruang angkasa demi kebermanfaatan orang banyak, terutama rakyat kecil. Berbagai aplikasi smartphone berbasis satelit dapat dikembangkan, seperti untuk membantu LAPAN menggapai para nelayan tradisional hingga membantu para peternak mencari rumput segar.

Untuk itu, perlu diciptakan space awareness yang idealnya dipelopori institusi pendidikan. Mata kuliah semacam spacepreneur dan hukum angkasa bukan suatu omong kosong atau "kebanyakan teori". Justru keberadaannya yang akan menentukan sejauh mana industri atau kegiatan keantariksaan suatu yurisdiksi akan berkembang.

The Organisation for Economic Co-operation and Development (OCED) memprediksi keuntungan dari kegiatan keantariksaan akan menembus angka 1 triliun dollar Amerika Serikat pada tahun 2020.

Menjadi suatu renungan apakah pada saat itu, Indonesia telah mulai merintis karier untuk menjadi pemain, atau hanya berakhir sebagai penonton dari pasar industri yang memanfaatkan ruang angkasa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com