Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ridha Aditya Nugraha
Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya

Manajer Riset dan Kebijakan Air Power Centre of Indonesia, Jakarta. Anggota German Aviation Research Society, Berlin. Saat ini berkarya dengan mengembangkan hukum udara dan angkasa di Air and Space Law Studies - International Business Law Program, Universitas Prasetiya Mulya. Tenaga ahli sekaligus pemateri di Institute of Air and Space Law Aerohelp, Saint Petersburg. Sebelumnya sempat berkarya pada suatu maskapai penerbangan Uni Eropa yang berbasis di Schiphol, Amsterdam.

Melahirkan Generasi "Spacepreneur" di Indonesia

Kompas.com - 27/01/2018, 20:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorShierine Wangsa Wibawa

LUAR angkasa atau antariksa (space) memang masih terasa jauh dari kehidupan manusia. Setelah Colombus menemukan benua Amerika, sekitar setengah abad lalu Yuri Gagarin dan Neil Amstrong memelopori ekspansi umat manusia ke luar angkasa.

Saat itu, hanya negara yang mampu, baik secara finansial maupun teknologi, yang melakukan kegiatan keantariksaan. Walaupun penuh risiko, nyatanya ambisi umat manusia untuk mengeksplorasi ruang angkasa tidak pernah surut.

Perang Dingin terbukti menjadi katalis kegiatan keantariksaan. Terlepas dari banyaknya korban berguguran, kita harus berterima kasih mengingat Perang Dingin telah menciptakan suatu paradigma bahwa status negara maju tercermin dari penguasaan teknologi keantariksaan.

Alhasil, Amerika Serikat dan Rusia (Uni Soviet) berlomba-lomba menguasai ruang angkasa. Alokasi dana riset yang luar biasa untuk kegiatan keantariksaan salah satunya berimbas dengan pesatnya perkembangan teknologi satelit.

Salah satu penemuan terpenting ialah Global Navigation Satellite System (GNSS) sebagaimana dikembangkan menjadi sistem navigasi. Terdiri dari konstelasi satelit, Amerika Serikat pertama kali memanfaatkan teknologi ini untuk melacak operasional seluruh kapal selam nuklirnya pada tahun 1978.

Namanya beragam, jika di Amerika Serikat bernama Global Positioning Satellite (GPS), Rusia yang tidak mau ketinggalan turut mengembangkan dan menyebutnya Global Navigation Satellite Systems (GLONASS).

Setelah Perang Dingin berakhir, GNSS lebih diberdayakan untuk fungsi navigasi sipil dan dapat dinikmati umum secara cuma-cuma. Mengingat dampak positifnya, saat ini baru dua negara adidaya yang mampu mengoperasikan GNSS dengan cakupan dunia.

Beberapa yurisdiksi lain tengah berupaya mengembangkan GNSS untuk fungsi regional, di antaranya Uni Eropa (Galileo), RRC (BeiDou), India (IRNSS atau NAVIC), dan Jepang (Quasi-Zenith).

Tidak salah jika menyimpulkan bahwa kebermanfaatan satelit telah memasuki babak baru, dari eksklusif hanya dapat dinikmati negara dan kalangan tertentu hingga menjadi untuk banyak orang.

Pemanfaatan satelit di Indonesia

Tanpa disadari, semakin banyak masyarakat Indonesia yang bersinggungan dengan kegiatan keantariksaan dalam kehidupan sehari-hari, terutama mereka yang hidup di kota besar. Sebagai contoh adalah smartphone yang memfasilitasi kegiatan keantariksaan. Harganya yang semakin terjangkau berarti memperbanyak kegiatan keantariksaan di Tanah Air.

Contoh paling nyata ialah fenomena transportasi online di Nusantara; sebut saja Grab Indonesia, Go-Jek Indonesia, dan Uber. Secara entitas, mereka memang terkenal sebagai perusahaan teknologi di bidang transportasi. Namun, jangan lupa bahwa operasional sehari-hari sangat bergantung kepada fungsi GNSS.

Tanpa GPS yang akurat, mustahil sistem dapat menentukan titik calon penumpang dan mencarikan pengemudi terdekat. Perbedaan beberapa meter titik penjemputan bahkan dapat menjadi alasan bagi calon penumpang untuk membatalkan pemesanan.

Jika calon penumpang berada di daerah sepi dan tidak sensitif terhadap waktu, mungkin premis tersebut kurang akurat. Namun, jika situasi tersebut terjadi di daerah perkantoran yang sarat kemacetan, sebut saja bilangan Sudirman dan Thamrin di Jakarta; silakan bayangkan sendiri berapa besar potensi pendapatan yang hilang.

Keakuratan GPS akan menentukan penghasilan para mitra pengemudi. Tentunya berbicara mengenai tingkat keakuratan tidak luput dari kualitas perangkat lunak peta (map). Kemudian untuk mengantarkan penumpang ke tempat tujuan, jika pengemudi tidak familiar dengan medan, maka tinggal menggunakan aplikasi penunjuk jalan berbasis GPS.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau