Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Melahirkan Generasi "Spacepreneur" di Indonesia

Saat itu, hanya negara yang mampu, baik secara finansial maupun teknologi, yang melakukan kegiatan keantariksaan. Walaupun penuh risiko, nyatanya ambisi umat manusia untuk mengeksplorasi ruang angkasa tidak pernah surut.

Perang Dingin terbukti menjadi katalis kegiatan keantariksaan. Terlepas dari banyaknya korban berguguran, kita harus berterima kasih mengingat Perang Dingin telah menciptakan suatu paradigma bahwa status negara maju tercermin dari penguasaan teknologi keantariksaan.

Alhasil, Amerika Serikat dan Rusia (Uni Soviet) berlomba-lomba menguasai ruang angkasa. Alokasi dana riset yang luar biasa untuk kegiatan keantariksaan salah satunya berimbas dengan pesatnya perkembangan teknologi satelit.

Salah satu penemuan terpenting ialah Global Navigation Satellite System (GNSS) sebagaimana dikembangkan menjadi sistem navigasi. Terdiri dari konstelasi satelit, Amerika Serikat pertama kali memanfaatkan teknologi ini untuk melacak operasional seluruh kapal selam nuklirnya pada tahun 1978.

Namanya beragam, jika di Amerika Serikat bernama Global Positioning Satellite (GPS), Rusia yang tidak mau ketinggalan turut mengembangkan dan menyebutnya Global Navigation Satellite Systems (GLONASS).

Setelah Perang Dingin berakhir, GNSS lebih diberdayakan untuk fungsi navigasi sipil dan dapat dinikmati umum secara cuma-cuma. Mengingat dampak positifnya, saat ini baru dua negara adidaya yang mampu mengoperasikan GNSS dengan cakupan dunia.

Beberapa yurisdiksi lain tengah berupaya mengembangkan GNSS untuk fungsi regional, di antaranya Uni Eropa (Galileo), RRC (BeiDou), India (IRNSS atau NAVIC), dan Jepang (Quasi-Zenith).

Tidak salah jika menyimpulkan bahwa kebermanfaatan satelit telah memasuki babak baru, dari eksklusif hanya dapat dinikmati negara dan kalangan tertentu hingga menjadi untuk banyak orang.

Pemanfaatan satelit di Indonesia

Tanpa disadari, semakin banyak masyarakat Indonesia yang bersinggungan dengan kegiatan keantariksaan dalam kehidupan sehari-hari, terutama mereka yang hidup di kota besar. Sebagai contoh adalah smartphone yang memfasilitasi kegiatan keantariksaan. Harganya yang semakin terjangkau berarti memperbanyak kegiatan keantariksaan di Tanah Air.

Contoh paling nyata ialah fenomena transportasi online di Nusantara; sebut saja Grab Indonesia, Go-Jek Indonesia, dan Uber. Secara entitas, mereka memang terkenal sebagai perusahaan teknologi di bidang transportasi. Namun, jangan lupa bahwa operasional sehari-hari sangat bergantung kepada fungsi GNSS.

Tanpa GPS yang akurat, mustahil sistem dapat menentukan titik calon penumpang dan mencarikan pengemudi terdekat. Perbedaan beberapa meter titik penjemputan bahkan dapat menjadi alasan bagi calon penumpang untuk membatalkan pemesanan.

Jika calon penumpang berada di daerah sepi dan tidak sensitif terhadap waktu, mungkin premis tersebut kurang akurat. Namun, jika situasi tersebut terjadi di daerah perkantoran yang sarat kemacetan, sebut saja bilangan Sudirman dan Thamrin di Jakarta; silakan bayangkan sendiri berapa besar potensi pendapatan yang hilang.

Keakuratan GPS akan menentukan penghasilan para mitra pengemudi. Tentunya berbicara mengenai tingkat keakuratan tidak luput dari kualitas perangkat lunak peta (map). Kemudian untuk mengantarkan penumpang ke tempat tujuan, jika pengemudi tidak familiar dengan medan, maka tinggal menggunakan aplikasi penunjuk jalan berbasis GPS.

Beralih ke lautan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah mendayagunakan satelit penginderaan jauh (remote sensing) guna membantu para nelayan tradisional.

Penguasaan teknologi dan modal mereka umumnya masih minim. Jadi, jangan dibandingkan dengan kapal nelayan asing yang modern dan lengkap teknologinya.

Kontribusi LAPAN bagi para nelayan tradisional ialah dengan membuka akses informasi akan lokasi keberadaan ikan; nama lainnya Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI). Tujuannya ialah mengubah paradigma "melaut untuk mencari ikan" menjadi "melaut untuk menangkap ikan". Maka nelayan seyogianya baru akan melaut ketika citra satelit menunjukkan hasil positif.

Alhasil, program tersebut telah menurunkan waktu melaut nelayan dan mengefisiensikan biaya operasional hingga 30 persen pada beberapa daerah. Kesejahteraan meningkat, demikian pula waktu berkumpul bersama keluarga.

Sayangnya, belum seluruh nelayan tradisional dapat terakomodasi dengan maksimal, mengingat Indonesia yang begitu luas dan tingkat kesiapan masing-masing pemerintah daerah yang menjadi perpanjangan tangan LAPAN.

Ke manakah arah spacepreneur Indonesia?

Dua kasus nyata tersebut menggambarkan peluang akan terciptanya spacepreneur di Indonesia. Penginderaan jauh berpotensi disulap menjadi bisnis yang menggiurkan.

Dewasa ini, jasa penyediaan citra satelit dipatok sekitar puluhan dollar Amerika Serikat per kilometer persegi. Bayangkan potensi pendapatan dengan memperhatikan luas dan kontur geografis Indonesia.

Peluang untuk bermitra dengan instansi pemerintah sangat menjanjikan; mulai dari turut menjaga pulau-pulau kecil terluar bersama Badan Nasional Pengelola Perbatasan, mengidentifikasi ladang ganja bersama Badan Nasional Narkotika, membantu Kementerian Keuangan mengawasi objek pajak, hingga turut membasmi illegal fishing sekaligus pelanggaran batas wilayah bersama instansi terkait.

Jangan bayangkan harus menggunakan satelit konvensional semacam BRISat yang biayanya di atas Rp 1 triliun.

Saat ini, telah dikenal nano-satellite yang beratnya berkisar 1-10 kilogram. Benda ini mampu mengambil foto dengan resolusi tinggi dan harganya masih terjangkau, yakni di kisaran miliaran rupiah untuk sampai ke orbit. Anggaplah seharga satu apartemen mewah.

Spacepreneur tidak hanya tentang wisata antariksa yang dipelopori Virgin Galactic SpaceShipTwo milik Richard Branson, atau SpaceX milik Elon Musk yang berambisi menjadikan manusia sebagai makhluk multiplanet. Bagi negara berkembang, spacepreneur juga dapat tetap membumi.

Jika dikaitkan dengan keadaan Indonesia, spacepreneur ialah soal memanfaatkan ruang angkasa demi kebermanfaatan orang banyak, terutama rakyat kecil. Berbagai aplikasi smartphone berbasis satelit dapat dikembangkan, seperti untuk membantu LAPAN menggapai para nelayan tradisional hingga membantu para peternak mencari rumput segar.

Untuk itu, perlu diciptakan space awareness yang idealnya dipelopori institusi pendidikan. Mata kuliah semacam spacepreneur dan hukum angkasa bukan suatu omong kosong atau "kebanyakan teori". Justru keberadaannya yang akan menentukan sejauh mana industri atau kegiatan keantariksaan suatu yurisdiksi akan berkembang.

The Organisation for Economic Co-operation and Development (OCED) memprediksi keuntungan dari kegiatan keantariksaan akan menembus angka 1 triliun dollar Amerika Serikat pada tahun 2020.

Menjadi suatu renungan apakah pada saat itu, Indonesia telah mulai merintis karier untuk menjadi pemain, atau hanya berakhir sebagai penonton dari pasar industri yang memanfaatkan ruang angkasa.

https://sains.kompas.com/read/2018/01/27/200700623/melahirkan-generasi-spacepreneur-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke