KOMPAS.com -- Tahun 2017 baru saja berlalu. Namun, Anda masih ingat kan bagaimana panasnya matahari tahun lalu di kulit? Bahkan saat malam hari, matahari seakan masih bertengger di langit.
Ternyata, tahun 2017 adalah tahun terpanas kedua yang pernah tercatat dalam sejarah. Lalu, jika fenomena alam El Nino tak diperhitungkan, tahun 2017 naik ke peringkat satu.
Hal itu diungkapkan oleh Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA).
Dilansir Futurism, Selasa (2/1/2018), dibandingkan dengan tahun 2014, terjadi kenaikan 0,17 derajat Celcius (0,306 derajat Fahrenheit) pada tahun 2017.
Tahun 2015 memang sempat diberikan predikat El Nino terparah dan terkuat dalam sejarah. Saat itu sistem cuaca di dunia menjadi kacau. Banjir dan kenaikan suhu juga menyapu belahan bumi bagian utara. Namun, rekor itu telah dipatahkan oleh panas sepanjang tahun 2017.
Baca juga : Gelombang Panas Lucifer Menyerang, Suhu Eropa Capai 44 Derajat Celcius
Untuk diketahui, El Nino murni siklus alami bumi. Kehadirannya bukanlah konsekuensi perubahan iklim.
Sementara itu, pada tahun 2017, yang terjadi adalah El Nino Southern Oscillation (ENSO), siklus yang berputar sebelum terjadinya El Nino dan dingin tak normal akibat La Nina. Dengan kata lain, tahun 2017 merupakan tahun “netral”.
Dana Nuccitelli, dalam artikelnya di Guardian, membandingkan tahun 2017 dengan tahun 1972. Kedua tahun tersebut memiliki aktivitas matahari yang sama dan tahun yang netral. Namun, rata-rata tahun 2017 0,9 derajat Celcius lebih panas dari tahun 1972.
Menghentikan pemanasan global merupakan perbuatan yang mustahil dilakukan. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan rumah biru kita?
Baca juga : Tahun 2100, Suhu Asia Selatan Diprediksi Terlalu Panas untuk Manusia
Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada Senin (1/1/2017) lalu di jurnal Nature Climate Change, memasukkan variabel perilaku manusia dalam model perubahan iklim. Tindakan sederhana seperti pemasangan panel surya juga ikut berpengaruh terhadap konsentrasi gas rumah kaca yang lebih tinggi.
Penelitian yang dilakukan Brian Beckage dan koleganya menemukan bahwa dengan mempertimbangkan respons manusia, suhu global diperkirakan mengalami kenaikan bervariasi dari 3,4 sampai 6,2 derajat Celcius (6,11 sampai 11,2 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100.
Tanpa mempertimbangkan respons manusia, kenaikan iklim diperkirakan mencapai 4,9 derajat Celcius (8,8 derajat Fahrenheit).
Sebagai ilustrasi, mengendarai mobil hibrida punya manfaat terbesar dalam jangka panjang, dibandingakan dengan penyesuaian jangka pendek seperti penyesuaian termostat atau jarak tempuh yang lebih pendek.
Baca juga : 15.000 Ilmuwan Tulis Surat untuk Kemanusiaan, Apa Isinya?
Meski demikian, antisipasi perubahan iklim tidaklah cukup jika berhenti pada respons individu. Lelehan es di kutub dan kebakaran hutan membuat kerusakan ekonomi dan lingkungan yang tak terhitung.
Untuk itu diperlukan tata kelola dan rencana yang matang antara pemerintah, ilmuwan, dan sektor swasta.
Salah satu contoh kerjasama yang berhasil adalah Protokol Montreal pada 1989. Hingga kini ratusan negara telah meratifikasi untuk melindungi lapisan ozon dan meniadakan produksi sejumlah zat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.