KOMPAS.com- Mau tidak mau, harus diakui bahwa akhir-akhir ini suhu di sekitar kita lebih panas dari biasanya. Menurut para peneliti, penyebab terbesarnya adalah perubahan iklim, terutama yang terjadi di wilayah Asia Selatan.
Suhu panas bahkan diprediksi akan meningkat tajam dan menjadi sangat lembab pada akhir abad ini.
Dalam publikasinya di jurnal Science Advance pada 2 Agustus 2017, para ilmuwan membahas fenomena gelombang panas yang menelan korban akibat perubahan iklim yang terjadi di Pakistan, Nepal, India, Bangladesh dan Srilanka.
"Penduduk di negara tersebut kebanyakan bergerak di sektor pertanian, dan hal ini membuat mereka lebih sering terpapar oleh suhu panas," kata Elfitah Eltahir, Profesor Teknik Sipil dan Lingkungkan di Institut Teknologi Massachusetts.
(Baca juga: Tahun 2100, Bumi Akan Menunjukkan Tanda-tanda "Kiamat")
Menurut Eltahir, ada tiga faktor utama yang menjadi perhatian khusus, yakni suhu panas yang ekstrem, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan, dan profesi pekerjaan yang memaksa mereka berada di luar ruangan.
"Tiga hal tersebut dikombinasikan dengan tingkat kerentanan yang parah, menjadi fokus utama kita," kata Eltahir kepada Live Science 7 Agustus 2017.
Para peneliti menulis, tragedi gelombang panas sekitar dua tahun yang lalu menelan setidaknya 3.500 korban jiwa di wilayah India dan Pakistan.
Menggunakan berbagai data yang ada, para peneliti kemudian menyebutkan bahwa pada saat ini, jumlah lahan vegetasi turun drastis menjadi 25 kilometer persegi.
Lalu dalam simulasi komputer, tampak penurunan lahan tersebut menjadi faktor utama penyumbang perubahan iklim dengan temperatur bola basah yang mencapai tingkat ekstrem, yakni 35 derajat celcius.
Pada suhu tersebut, kulit manusia tidak akan mungkin bisa bertahan dari panas. "Manusia yang terpapar panas pada suhu 35 derajat celsius, tidak akan bertahan lama. Itu juga berlaku bagi seseorang dalam kondisi sangat sehat dan berada di dalam ruangan dengan sirkulasi yang baik,"kata Eltahir.
Berbeda dengan temperatur bola kering yang Anda kenal, temperatur bola basah yang mengombinasikan suhu dan kelembapan memang jarang bisa melampaui angka 31 derajat celsius, tetapi pada musim kemarau tahun 2015 kemarin, suhu tercatat hampir mencapai 35 derajat celsius.
Pada saat itulah gelombang panas menghantam wilayah Bandar Mahshahr, Iran, dan sebagian wilayah Teluk Arab. Namun menurut Eltahir, wilayah yang berdekatan dengan lautan akan lebih panas dari pada wilayah lainnya.
Hal serupa juga diprediksi akan berulang kembali pada akhir abad ini dengan wilayah yang jauh lebih luas, yakni di seluruh Asia Selatan.
"Intinya dengan prediksi ini kita ingin mengajak orang untuk lebih memahami apa itu perubahan iklim dan akibatnya kepada kehidupan manusia," kata Eltahir.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.