Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sains Menjelaskan Bagaimana Polusi Udara Bisa Bikin Anak Nakal

Kompas.com - 18/12/2017, 20:19 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.comPolusi udara sering kali dikaitkan dengan kesehatan manusia. Namun, tahukah Anda bahwa polusi udara juga berpotensi membuat anak jadi nakal?

Diana Younan dari Keck School of Medicine, University of Southern California, Amerika Serikat, menjelaskan, tingkat polusi udara yang melonjak membuat udara penuh dengan partikel kecil. Partikel kecil inilah yang dapat membuat berbagai kerusakan dalam tubuh manusia.

"Sudah diketahui bahwa polusi udara dapat memengaruhi fungsi pernapasan atau kesehatan, tetapi tidak begitu diketahui bahwa itu juga bisa memengaruhi otak," ungkap Younan dikutip dari Popular Science, Kamis (14/12/2017).

Beberapa dekade belakangan, para ilmuwan mencatat bukti yang menunjukkan bahwa menghirup udara tercemar beracun bagi otak. Hal ini diteliti lebih dalam dengan perubahan perilaku, terutama pada anak-anak dan remaja.

Baca juga: PBB Beri Peringatan Dampak Polusi Udara pada Otak Anak

Sesuai dengan yang disampaikan Younan sebelumnya, tentang bagaimana pemaparan timbal saat masa kecil (biasanya cat atau bensin) akhirnya terkait dengan masalah perilaku, beberapa ilmuwan menduga penurunan kejahatan yang terjadi di Amerika Serikat (dan beberapa negara lain) sejak 1990 dapat dihubungkan dengan penghapusan timbal dalam bensin.

"Timbal inilah yang memelopori keseluruhan penelitian mengenai faktor risiko lingkungan," kata Younan.

Berdasarkan analisis data dari hampir 700 anak, Younan dan timnya menemukan bahwa anak-anak di Los Angeles yang terpapar polusi udara lebih banyak selama masa remaja cenderung berperilaku nakal. Temuan ini kemudian dipublikasikan dalam Journal of Abnormal Psychology.

Temuan tersebut juga menjelaskan bahwa jumlah polusi yang sama berefek lebih kuat pada perilaku ketika anak-anak memiliki hubungan buruk dengan orangtua atau ketika ibu mereka menunjukkan tanda-tanda depresi.

Penelitian ini sendiri menggunakan data dari anak-anak selama hampir satu dekade. Data peserta dimulai ketika mereka berusia sembilan tahun.

Orangtua diminta untuk menyelesaikan kuisioner tentang perilaku anak-anak mereka setiap beberapa tahun sekali. Kuisioner tersebut berisi pertanyaan tentang kebiasaan berbohong atau curang, penggunaan narkotika, dan vandalisme.

Tim tersebut kemudian menggunakan data mengenai polusi udara setiap hari di wilayah tersebut untuk mengklasfikasikan jumlah polusi yang dihadapi setiap anak di dekat rumah mereka selama penelitian berlangsung.

Baca juga: Hati-hati, Polusi Udara Bisa Jadi Penyebab Mandul

Younan secara khusus melihat polusi dari partikel 2,5 yang berukuran 30 kali lebih kecil dari rambut manusia. Polusi tersebut terutama berasal dari mobil dan lalu lintas.

Dia menjelaskan bahwa hubungan antara tingkat polusi dan perilaku buruk tidak terkait dengan perbedaan ras, status sosial ekonomi, jenis kelamin, atau faktor sosial lainnya. Oleh karena itu, Younan menggarisbawahi bahwa ini adalah efek dari partikel polusi tersebut.

Namun, penting untuk dicatat bahwa orang miskin cenderung tinggal di dekat jalan raya atau daerah lebih berpolusi sehingga lebih banyak terpapar partikel ini, kata Younan.

Dengan kata lain, warga miskin lebih berisiko mendapatkan efek buruk ini.

Hasil penelitian Younan juga didukung Deborah Cory-Slechta, profesor kedokteran lingkungan di University of Rochester yang tak terlibat penelitian Younan.

Cory-Slechta juga memulai kariernya dengan melihat paparan timbal. Beberapa tahun terakhir, dia juga melakukan penelitian terkait polusi udara.

Baca juga: Polusi Udara Berisiko Tinggi pada Golongan Darah Non-O

Awalnya dia skeptis bahwa polusi udara dapat berdampak pada otak. "Tapi sungguh menakjubkan apa yang mulai kami temukan. Semua orang terkejut, paling tidak, betapa dramatis beberapa efek ini," kata Cory-Slechta.

Dia juga mempelajari efek polusi udara pada model hewan. Hasilnya, perubahan perilaku yang  dilihatnya dalam penelitian tersebut tampaknya sesuai dengan jenis perilaku buruk yang diamati dalam studi longitudinal milik Younan.

"Bahkan pada tingkat keterpaparan yang relatif rendah (pada hewan), kita melihat perubahan perilaku. Hal-hal seperti impulsif, dapat berhubungan dengan tingkah lakunya," ungkapnya.

Polusi udara memang memiliki beberapa jalur potensial untuk masuk ke otak. Partikel yang terhirup dalam paru-paru bisa masuk dalam darah dan akhirnya beredar hingga ke otak.

Masalah partikel juga bisa menyebabkan stres di paru-paru. Ini bisa menyebabkan produksi molekul peradangan yang kemudian menuju ke otak.

Baca juga: Tumbuhan Juga Sebabkan Polusi Udara, Kok Bisa?

Selain itu, pencemaran juga bisa langsung menyerang ke otak, terutama saat orang menghirup udara tercemar melalui hidung mereka yang terhubung langusng ke bagian otak yang disebut bola pencium.

Cory-Slechta menjelaskan lebih detail bahwa partikel yang melintasi mampu melewati perlindungan di membran darah otak.

Materi partikel sering disertai dengan logam, bahan organik, atau kontaminan lain. Semua itu dapat menimbulkan malapetaka pada otak, terutama pada ambang batas kritis.

"Ini adalah respons fisik terhadap polusi. Ini merusak otak," kata Younan.

Melihat temuan yang menyebutkan bahwa tingkat kejahatan turun sebagai dampak dihilangkannya timbal dari bensin, Younan berspekulasi bahwa mungkin hal ini juga bisa berlaku pada kasus polusi udara.

"Selama beberapa dekade terakhir, polusi udara telah menurun dan kejahatan telah menurun. Menarik untuk melihat apakah keduanya memiliki kaitan," ujar Younan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau