KOMPAS.com -- Banyak orang mengenal penderita autisme sebagai orang yang memiliki kesulitan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi dua arah.
Biasanya, kurangnya kemampuan ini dianggap karena penderita autisme tidak mampu membaca ekspresi wajah lawan bicara.
Namun ternyata, sifat autisme tidak hanya berhubungan dengan ketidakmampuan membaca isyarat visual. Sebuah penemuan terbaru membuktikan bahwa indera penciuman juga memainkan peran penting dalam kehidupan sosial penderita autisme.
Laporan yang dibuat para peneliti dari Weizmann Institute of Science di Nature Neuroscience menyebutkan bahwa orang dengan autisme memiliki reaksi berbeda atau bahkan berlawanan terhadap bau dari tubuh manusia lainnya.
BACA: Evolusi Pertahankan Gen Autisme agar Manusia Lebih Cerdas
Seperti dikutip dari Science Daily, Senin (27/11/2017), bau-bau yang dimaksud ini sebenarnya bau yang tidak kita sadari, tetapi merupakan bagian dari komunikasi nonverbal antara manusia.
Profesor Noam Sobel dari departemen Neurobiology di institusi tersebut menyelidiki bau-bau yang muncul dari emosi seseorang.
Sebagai contoh adalah "bau ketakutan". Meski kita tidak dapat mengetahui baunya secara pasti, tetapi bau ini bentuk komunikasi sosial yang dapat membuat kita bereaksi.
Dari sinilah, Sobel dan tim penelitiannya terdorong untuk mencari tahu apakah hal yang sama juga dapat dirasakan oleh mereka yang memiliki gangguan sosial seperti autisme.
Untuk meneliti hal tersebut, Sobel dan koleganya merancang percobaan yang melibatkan relawan autisme yang berfungsi tinggi dan relawan tanpa autisme untuk mengidentifikasi bau yang diketahui secara sadar, termasuk bau keringat manusia.
Dalam tahap ini, para peneliti tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok dan menunjukkan bahwa mereka memiliki indera penciuman yang normal.
BACA: Belajar Renang Bisa Menyelamatkan Hidup Anak Autisme
Seklanjutnya, mereka diminta untuk mencium dua jenis bau keringat manusia. Bau pertama yang merupakan bau ketakutan diambil ketika orang-orang mengambil kelas terjun payung, sedangkan bau kedua diambil ketika orang-orang yang sama sedang berolahraga tanpa rasa takut.
Di sinilah muncul perbedaannya. Meski kedua kelompok tidak dapat secara sadar membedakan kedua bau itu, tubuh mereka menunjukkan respons yang berlawanan.
Pada kelompok relawan normal, saat mereka mencium keringat yang disebabkan rasa takut, maka muncul respons ketakutan yang dilihat dari konduktivitas kulit. Sementara itu, saat mencium keringat setelah olahraga, tidak ada perubahan respons yang muncul.
Relawan dengan autisme justru kebalikannya. Saat mereka mencium keringat yang muncul karena rasa takut, mereka justru lebih tenang. "Justru saat mereka mencium bau setelah berolahraga, mereka menunjukkan tanda-tanda kecemasan," ujar Sobel.
Dalam percobaan lanjutan, para peneliti penasaran apakah emosi sosial tadi memiliki dampak berbeda pada autisme dengan kelompok orang normal.
BACA: Kenapa Pengidap Autisme Lebih Rentan Bunuh Diri?
Menggunakan komponen bau badan berpotensi menenangkan yang disebut heksadesimal, peneliti ingin melihat respons ketakutan spontan. Respons tersebut ditandai dengan kedipan yang direkam menggunakan elektroda di atas otot mata.
Hasilnya, respons ketakutan spontan pada kelompok normal lebih lemah saat terkena heksadesimal, sedangkan pada kelompok autisme, respons ketakutan spontannya sangat kuat.
Dari sini, peneliti menyimpulkan bahwa relawan autis mampu mencium isyarat sosial, tetapi salah membaca dan memberikan respons.
Menurut Sobel, perbedaan ini mengarah pada kesalahan penginderaan sinyal kimiawi halus pada fase perkembangan otak orang-orang dengan autisme.
"Kami masih berspekulasi saat ini, semoga akan ada penelitian lain yang dapat menjelaskan fungsi isyarat sosial penciuman ini dan akarnya pada gangguan sosial seperti autisme," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.