Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Buaya Berkalung Ban dan Kenyataan Menyedihkan Lingkungan Kita

Kompas.com - 01/11/2017, 18:38 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Pencemaran sampah bukan cerita baru di Indonesia. Petugas kebersihan di KM Bukit Raya milik PT Pelni tak canggung untuk membuang sampah di tengah perjalanan dari Tanjong Priok, Jakarta Utara, menuju ke Natuna di Kepulauan Riau.

Videonya beredar luas di media sosial dan mendapat tanggapan negatif dari warganet.

Bulan lalu, publik kembali dibuat geleng-geleng setelah melihat hasil jepretan foto Justin Hofman. Foto di lepas pantai Sumbawa, Nusa Tenggara Barat itu mengabadikan seekor kuda laut yang tengah berpegangan pada korek kuping.

Tahun lalu, seekor buaya di Sungai Palu tertangkap berkalung ban.

Sejumlah kasus menunjukkan betapa besar ancaman manusia pada makhluk lainnya. Orang Indonesia tercatat sebagai orang kedua terbesar yang menyumbangkan sampah ke lautan, kebanyakan berupa plastik.

Herpetolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesai (LIPI) mengatakan, pada reptil, lambungnya memiliki tingkat keasaman yang tinggi untuk melindungi dari bakteri.

Namun, fungsi tersebut tak bekerja bila makanan alaminya tergantikan oleh sampah plastik.

Baca Juga: Foto Kuda Laut Raih Korek Kuping Buktikan Betapa Kotor Laut Indonesia

Menurut Amir, sampah plastik berpegaruh terhadap habitat reptil. Pada buaya misalnya, plastik akan mempengaruhi kualitas kejernihan air dan menutupi masuknya sinar matahari.

“Butuh ruang yang luas di air saat angkat tubuhnya untuk ambil nafas. Kalau tertutupi sampah semua gak ada ruang untuk naik,” kata Amir saat dihubungi, Selasa (31/10/2017).

Berkurangnya intensitas cahaya matahari di dalam air akan mengurangi suhu. Sebagai hewan berdarah dingin, suhu sangat berpengaruh terhadap aktivitas dan metabolisme reptil. Selain itu, suhu juga berpengaruh terhadap proses penetasan telur.

Menurut Amir, saat ini pencemaran sampah belum masuk pada tahap mengancam kelangsungan hidup reptil di darat. Namun, hal sebaliknya tejadi pada penyu akibat pencemaran sampah di laut.

“Penyu tidak bisa naik untuk membuat sarang. Kalau banyak sampah di pantai dia kesulitan. Dia harus naik lagi ke daratan. Sedangkan kalau gak cukup tenaga buat balik ke laut dia akan mati,” kata Amir.

Saat di laut, pegerakan sampah plastik terlihat menyerupai ubur-ubur yang menjadi makanan penyu. Masalah pencernaan makanan pun tak bisa dihindarkan.

Meksi belum berpotensi menimbulkan kepunahan, data Enviromental Health Perspectives pada 2015 lalu dapat menjadi pertimbangan. Indonesia berada pada urutan kedua sebagai negara yang mencemari laut dengan 3,22 juta metrik ton sampah plastik setiap tahunnnya.

Indonesia tak sendiri. Sampah plastik telah menjadi masalah global.

Baca Juga: Peneliti Temukan Ratusan Ton Sampah Plastik di Lautan Arktik

Pada 2015 lalu sebuah video berdurasi kurang dari sepuluh menit viral dikalangan warganet. Isinya memuat siapapun pilu: sekelompok peneliti berusaha mengeluarkan sedotan minum plastik yang bersarang di hidung penyu Olive ridleys di lepas pantai Kosta Rika.

“(Pada awalnya) itu tampak seperti cacing. Kami tidak percaya apa yang baru saja kami keluarkan dari kura-kura itu,” kata Christine Figgener, seorang ahli penyu di Universitas Texas A & M di College Station seperti diwartakan National Geographic tahun tersebut.

Seperti pada manusia, jalur makanan dan udara pada penyu saling terhubung. Kemungkinan sedotan termakan dan Olive ridleys seberat 35 Kg itu berusaha mengeluarkannya. Namun, sayangnya limbah plastik itu malah berakhir di lubang yang salah.

Dalam publikasiya di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada Juli 2015, sembilan dari sepuluh burung laut di dunia menyimpan potongan plastik di dalam usus. Limba plastik terus meningkat sejak produksi pertama pada era 1950an.

Denise Hardesty, salah satu penulis peneltian itu mengatakan, para burung laut mengira potongan plastik layaknya telur ikan. Burung albatros dan shearwater paling sering memakan potongan limbah manusia itu.

“Mereka pikir mereka mendapatkan makanan yang layak tapi mereka benar-benar mendapatkan makanan plastik,” kata Hardesty.

Pantai barat laut Amarika Utara juga tak memberi kabar baik. Para peneliti menghitung plasik di dalam perut burung fulmar yang terdapar di pantai Washington, Oregon dan British Columbia, Kanada.

90 persen dari 67 fulmar mengunyah plastik seperti benang, styrofoam, dan bungkus permen. Secara rata-rata, 36,8 keping plastik ditemukan di usus fulmar.

Menurut Monterey Bay Aquarium, secara global, hingga 1 juta burung laut dan 100.000 mamalia laut dan kura-kura laut mati setiap tahun akibat memakan plastik.

Melihat kenyataan-kenyataan itu, sudikah Anda mengurangi sebanyak mungkin konsumsi plastik dan kegiatan "nyampah" agar makhluk-makhluk di muka bumi lebih lestari?

Baca Juga: Riset Ungkap Kenyataan Menyedihkan tentang Sampah Plastik dari Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau