Melalui analisis biologi, para peneliti menemukan bahwa puasa berjeda menimbulkan reaksi kekebalan pada sel lemak. Ada perubahan pada jalur gen tertentu yang terlibat dalam sistem kekebalan tubuh dan reaksi tubuh terhadap peradangan.
Jenis sel darah putih yang diketahui berperan dalam memerangi peradangan dipicu. Lebih dikenal dengan mikrofag anti-inflamasi (pereda nyeri), sel-sel itu merangsang sel lemak untuk membakar lemak atau lipid yang disimpan dengan menghasilkan panas.
Hal ini terjadi pada puasa jeda, karena terjadi peningkatan faktor pertumbuhan vaskular (Vascular Growth Factor, VEGF) yang membantu pembentukan pembuluh darah dan mengaktifkan makrofag anti-inflamasi.
"Puasa jeda tanpa pengurangan asupan kalori dapat menjadi terapi dan mencegah obesitas dan gangguan metabolisme," kata Kyoung-Han Kim seperti dikutip dari Science Daily, Rabu (18/10/2017).
"Perubahan stimulasi puasa dalam pertumbuhan sel vaskular dan perubahan kekebalan selanjutnya terjadi setelah satu siklus puasa 24 jam, dan terjungkir balik saat tikus mulai makan lagi," imbuh Yun Hye Kim.
Baca: Obesitas? Lakukan Ini untuk Cegah Penyakit Ginjal
Selain itu, protein yang direkayasa juga dapat melawan obesitas. Tidak hanya menurunkan berat badan, tetapi juga mengontrol insulin aliran darah (pengendala kadar gula darah) dan mengontrol kadar kolesterol.
Seperti penelitian puasa berkala, penelitian ini juga dilakukan pada tikus dan primata. Hasil penelitian ini digunakan sebagai alternatif yang sangat dibutuhkan untuk operasi lambung atas untuk obesitas pada manusia.
Hasilnya sudah terbukti tiga kali lipat lebih mumpuni sejak 1975.
Berdasarkan pengamatan Yumei Xiong dan rekannya, tikus, primata, dan manusia obesitas mempunyai konsentrasi serum protein yang disebut GDF15. Risetnya dipublikasikan di jurnal Science Translational Medicine yang terbit 2017.
Mereka mengembangkan terapi yang berasal dari molekul.
Dalam percobaan yang dilakukan pada tikus, hewan yang dipaksa diet memiliki obesitas genetik, pemberian gen GDF15 mengurangi bobot tubuh, asupan makanan, dan kadar insulin pada hewan.
Namun, karena GDF15 memiliki waktu plasma yang pendek dan sulit diproduksi dalam jumlah banyak, para ilmuwan akhirnya menghasilkan dua protein fusi yang berbeda. Kali ini lebih stabil dalam sirkulasi dan menyebabkan hasil yang lebih tinggi.
Kedua protein tersebut secara efektif dapat menurunkan bobot tubuh untuk tikus obesitas dan primata cynomolgus.
Menariknya, Xiong dan rekannya selanjutnya menunjukkan bahwa GDF15 dapat mengubah preferensi makanan pada hewan percobaan, membantu hewan memiliki kalori lebih rendah saat memilih makanan standar dan susu diet kental.
Mereka menentukan bahwa GDF15 mengaktifkan populasi sel saraf yang disebut neuron AP. Ini merupakan bagian dari sumbu otak. Namun, masih diperlukan studi keberlanjutan untuk mengidentifikasi reseptor seluler protein yang diperlukan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.