Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puasa Berkala dan Protein Rekayasa Bantu Lawan Obesitas

Kompas.com - 19/10/2017, 19:27 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Puasa berkala atau berselang-seling selama 16 minggu diklaim dapat membantu manusia melawan obesitas dan gangguan metabolisme lain.

Tim peneliti pimpinan Hoon-Ki Sung dari The Hospital for Sick Children di Ontario, Kanada menyebut bahwa efek puasa ini dapat terlihat dalam waktu enam minggu.

Hasil penelitian itu sudah dilaporkan dalam jurnal Call Research yang diterbitkan Springer Nature dan ditulis oleh Kyoung-Han Kim dan Yun Hye Kim.

Puasa berkala ini diteliti pada tikus selama 16 minggu, terbukti dapat membantu metabolisme dan membakar lemak dengan menghasilkan panas tubuh.

Penelitian itu menunjukkan bahwa kebiasaan makan dan gaya hidup tidak alami memainkan peran utama dalam pengembangan penyakit metabolik.

Penyakit yang terkait gaya hidup sendiri meliputi diabetes, penyakit jantung, dan obesitas. Untuk alasan tersebut, puasa berkala semakin populer untuk mengobati kondisi obesitas.

Baca: Anak Indonesia Rentan Obesitas, Apa yang Harus Dilakukan?

Dalam penelitian itu, ilmuwan ingin lebih memahami bagaimana reaksi dari intervensi puasa dapat memicu tingkat molekuler dalam tubuh.

Mereka melakukan percobaan dengan dua kelompok tikus selama enam belas minggu. Satu kelompok melakukan puasa berkala dan kelompok lainnya diberi makan teratur.

Pada kelompok tikus puasa, hewan diberi makan selama dua hari, kemudian satu hari mereka tidak diberi makan apapun. Selain itu, asupan kalori juga tidak disesuaikan.

Sementara kelompok lainnya terus diberi makan dengan jumlah kalori yang diukur.

Empat bulan kemudian, tikus dalam kelompok yang melakukan puasa berkala beratnya berkurang. Berbeda dengan tikus dalam kelompok yang terus mengkonsumsi makanan dengan jumlah yang sama setiap harinya.

Bobot tubuh tikus yang berkurang di kelompok puasa berkala bukanlah satu-satunya efek dari puasa yang dilakukan.

Di sini, mereka juga terbantu dalam menurunkan lemak (adiposa) putih dan meningkatkan lemak (adiposa) coklat. Ini terlihat dalam pembakaran energi yang menghasilkan suhu panas pada tikus tinggi lemak yang berdiet.

Sistem glukosa dan insulin mereka tetap stabil. Dalam percobaan lebih lanjut, manfaat yang sama sudah dirasakan hanya dalam waktu enam minggu melakukan puasa jeda.

Melalui analisis biologi, para peneliti menemukan bahwa puasa berjeda menimbulkan reaksi kekebalan pada sel lemak. Ada perubahan pada jalur gen tertentu yang terlibat dalam sistem kekebalan tubuh dan reaksi tubuh terhadap peradangan.

Jenis sel darah putih yang diketahui berperan dalam memerangi peradangan dipicu. Lebih dikenal dengan mikrofag anti-inflamasi (pereda nyeri), sel-sel itu merangsang sel lemak untuk membakar lemak atau lipid yang disimpan dengan menghasilkan panas.

Hal ini terjadi pada puasa jeda, karena terjadi peningkatan faktor pertumbuhan vaskular (Vascular Growth Factor, VEGF) yang membantu pembentukan pembuluh darah dan mengaktifkan makrofag anti-inflamasi.

"Puasa jeda tanpa pengurangan asupan kalori dapat menjadi terapi dan mencegah obesitas dan gangguan metabolisme," kata Kyoung-Han Kim seperti dikutip dari Science Daily, Rabu (18/10/2017).

"Perubahan stimulasi puasa dalam pertumbuhan sel vaskular dan perubahan kekebalan selanjutnya terjadi setelah satu siklus puasa 24 jam, dan terjungkir balik saat tikus mulai makan lagi," imbuh Yun Hye Kim.

Baca: Obesitas? Lakukan Ini untuk Cegah Penyakit Ginjal

Selain itu, protein yang direkayasa juga dapat melawan obesitas. Tidak hanya menurunkan berat badan, tetapi juga mengontrol insulin aliran darah (pengendala kadar gula darah) dan mengontrol kadar kolesterol.

Seperti penelitian puasa berkala, penelitian ini juga dilakukan pada tikus dan primata. Hasil penelitian ini digunakan sebagai alternatif yang sangat dibutuhkan untuk operasi lambung atas untuk obesitas pada manusia.

Hasilnya sudah terbukti tiga kali lipat lebih mumpuni sejak 1975.

Berdasarkan pengamatan Yumei Xiong dan rekannya, tikus, primata, dan manusia obesitas mempunyai konsentrasi serum protein yang disebut GDF15. Risetnya dipublikasikan di jurnal Science Translational Medicine yang terbit 2017.

Mereka mengembangkan terapi yang berasal dari molekul.

Dalam percobaan yang dilakukan pada tikus, hewan yang dipaksa diet memiliki obesitas genetik, pemberian gen GDF15 mengurangi bobot tubuh, asupan makanan, dan kadar insulin pada hewan.

Namun, karena GDF15 memiliki waktu plasma yang pendek dan sulit diproduksi dalam jumlah banyak, para ilmuwan akhirnya menghasilkan dua protein fusi yang berbeda. Kali ini lebih stabil dalam sirkulasi dan menyebabkan hasil yang lebih tinggi.

Kedua protein tersebut secara efektif dapat menurunkan bobot tubuh untuk tikus obesitas dan primata cynomolgus.

Menariknya, Xiong dan rekannya selanjutnya menunjukkan bahwa GDF15 dapat mengubah preferensi makanan pada hewan percobaan, membantu hewan memiliki kalori lebih rendah saat memilih makanan standar dan susu diet kental.

Mereka menentukan bahwa GDF15 mengaktifkan populasi sel saraf yang disebut neuron AP. Ini merupakan bagian dari sumbu otak. Namun, masih diperlukan studi keberlanjutan untuk mengidentifikasi reseptor seluler protein yang diperlukan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com