Hasil riset Inaya Rakhmani dan Fajri Siregar pada 2016 mengenai reformasi penelitian di Indonesia juga menunjukkan bahwa 74% peneliti di perguruan tinggi mengambil topik mengenai tata kelola pemerintahan. Dari jumlah tersebut, 79% di antaranya bersifat terapan.
Ini merupakan warisan ketentuan era Orde Baru yang termuat dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ketentuan ini mengatur produksi pengetahuan di universitas semata-mata untuk mendukung program pembangunan.
Aturan ini memasung kebebasan akademis yang menjadi syarat dimungkinkannya fungsi ideal universitas sebagai produsen pengetahuan yang kritis. Akibatnya, kultur akademis yang terbentuk hingga kini menjadi birokratis. Orientasi kerja para dosen yang lebih sebagai pegawai pemerintah atau birokrat ketimbang sebagai intelektual mencerminkan keadaan itu.
Dunia penelitian dan publikasi ilmiah juga menjadi kurang menarik bagi banyak akademisi. Karier akademis di banyak kampus masih ditentukan oleh faktor kedekatan dengan pejabat dan penilaian kinerja yang birokratis.
Rendahnya produk riset dan publikasi yang berkualitas, terlebih yang dapat bersaing dan berkontribusi pada level internasional, menggambarkan kondisi tersebut.
Di sisi lain, gaji dosen di Indonesia juga sangat rendah jika dibandingkan dengan gaji dosen di negara lain. Hal ini membuat mereka lebih rela mencari tambahan penghasilan dengan melakukan pekerjaan administratif serta mengajar mata kuliah sebanyak-banyaknya.
Banyak perguruan tinggi menerapkan sistem remunerasi yang ditentukan berdasarkan kelebihan jumlah mengajar. Akibatnya, dosen berlomba-lomba dan berebut mengajar sebanyak-banyaknya ketimbang menggunakan waktunya untuk membaca, meneliti, dan menulis.
Keadaan ini berisiko menghasilkan kualitas pengajaran yang buruk. Materi pengajaran dari sistem seperti ini tidak ditopang dari hasil riset dan publikasi yang serius, melainkan sekadar mengulang-ulang materi yang sama dari tahun ke tahun.
Kampus pada akhirnya sekadar tempat mencari penghasilan para dosen dan belum menjadi tempat mengembangkan ilmu. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya jual-beli ijazah dan gelar akademis serta persekongkolan praktik plagiarisme.
Politisasi perguruan tinggi
Intervensi negara dalam pengelolaan universitas memperparah kultur akademis yang telah terbirokratisasi. Hal ini mendorong para akademisi berorientasi mengejar jabatan bahkan posisi politik di luar kampus. Ini di antaranya dilakukan dengan memberi kemudahan kepada pejabat publik menempuh studi di perguruan tinggi.
Menteri memiliki bobot suara 35% dalam pemilihan rektor berdasarkan Permenristekdikti Nomor 1 Tahun 2015. Porsi yang cukup besar ini merupakan cerminan bentuk intervensi.
Ketentuan mengenai persentase ini mulai diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 tahun 2010. Sebelumnya, sejak Orde Baru kewenangan mengangkat rektor berada di tangan presiden melalui Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1980. Soeharto menyusun aturan ini dengan berpegang salah satunya pada Tap MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN yang mengatur peran universitas sebagai pendukung pembangunan. Ketentuan ini makin mencederai otonomi kampus dan kebebasan akademik yang sebelumnya telah dilucuti dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK).
Melalui kebijakan tersebut, pemerintah saat itu melarang perguruan tinggi memiliki pandangan politik yang berlawanan dengan pemerintah. Dengan semangat yang sama, Presiden Jokowi berupaya mengembalikan mekanisme serupa untuk mencegah menguatnya radikalisme di kampus. Campur tangan presiden semacam itu justru semakin memperburuk otonomi kampus terhadap kekuasaan politik.
Akibat paling nyata dari lemahnya otonomi kampus adalah para calon rektor yang hendak bersaing dalam pemilihan berlomba membangun hubungan politik dengan penguasa.