KOMPAS.com - Temuan plagiarisme beberapa disertasi para pejabat publik alumni program pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yang berujung pada pemecatan Rektor UNJ Profesor Djaali minggu ini, adalah contoh kecil dari carut-marutnya pengelolaan universitas di Indonesia.
Kasus plagiarisme di UNJ menunjukkan pelanggaran akademis yang terjadi di institusi pendidikan tinggi Indonesia tidak semata-mata disebabkan lemahnya integritas akademis mahasiswa seperti yang banyak dikemukakan oleh para pengamat pendidikan.
Plagiarisme oleh pejabat publik yang terjadi di UNJ memperkuat dugaan adanya persekongkolan antara pejabat universitas yang memerlukan koneksi politik dan pejabat publik yang memerlukan gelar dan status.
Persekongkolan tersebut terjadi karena kampus masih lemah berhadapan dengan kekuasaan politik. Ini disebabkan oleh sistem warisan Orde Baru yang menyisakan luasnya kontrol negara terhadap institusi pendidikan tinggi.
Kasus UNJ
Sebenarnya, berbagai bentuk pelanggaran akademis, termasuk jual beli gelar yang ditemukan tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) di UNJ, juga terjadi di banyak kampus.
Publik saat ini menyoroti UNJ karena pihak universitas terkesan melindungi para terduga plagiator serta mengelak temuan tim dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) itu. Sesudah dipecat, Djaali melaporkan Ketua Tim EKA Supriadi Rustad dan dosen UNJ Ubedilah Badrun ke polisi atas tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik.
Tertutupnya akses terhadap dokumen disertasi bahkan kepada kalangan internal sendiri memperkuat dugaan ada tindakan plagiarisme yang dilakukan secara sengaja dan sistematis.
Banyak pejabat yang menempuh studi doktoral di kampus ini. Wiranto, kini Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan termasuk salah satu di antara mereka. Ia menyelesaikan studi doktoralnya hanya dalam dua tahun.
Birokratisasi tradisi akademis
Kontrol negara yang meluas terhadap institusi pendidikan tinggi, tidak hanya ditujukan kepada jenis pengetahuan yang diproduksi oleh universitas, tapi juga kepada lembaganya. Hal ini tercermin dari adanya birokratisasi tradisi akademis serta politisasi institusi perguruan tinggi.
Salah satu bentuk kontrol negara terhadap pengetahuan tercermin dalam pemilihan topik-topik dalam skema pendanaan penelitian Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk perguruan tinggi.
Kementerian Riset mengarahkan topik penelitian untuk menghasilkan rekomendasi praktis dalam rangka memenuhi kebutuhan pemerintah dan dunia bisnis. Dalam pidatonya di Kongres ke-10 Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) 2017, Presiden Joko Widodo menekankan agar ilmuwan sosial dapat lebih banyak menghasilkan riset kebijakan.
Topik penelitian ilmu dasar yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan kapasitas peneliti Indonesia pada akhirnya cenderung diabaikan. Skema penelitian terapan yang ditawarkan oleh Kementerian Riset, jumlahnya lebih banyak daripada skema penelitian dasar.
Hasil riset Inaya Rakhmani dan Fajri Siregar pada 2016 mengenai reformasi penelitian di Indonesia juga menunjukkan bahwa 74% peneliti di perguruan tinggi mengambil topik mengenai tata kelola pemerintahan. Dari jumlah tersebut, 79% di antaranya bersifat terapan.
Ini merupakan warisan ketentuan era Orde Baru yang termuat dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ketentuan ini mengatur produksi pengetahuan di universitas semata-mata untuk mendukung program pembangunan.
Aturan ini memasung kebebasan akademis yang menjadi syarat dimungkinkannya fungsi ideal universitas sebagai produsen pengetahuan yang kritis. Akibatnya, kultur akademis yang terbentuk hingga kini menjadi birokratis. Orientasi kerja para dosen yang lebih sebagai pegawai pemerintah atau birokrat ketimbang sebagai intelektual mencerminkan keadaan itu.
Dunia penelitian dan publikasi ilmiah juga menjadi kurang menarik bagi banyak akademisi. Karier akademis di banyak kampus masih ditentukan oleh faktor kedekatan dengan pejabat dan penilaian kinerja yang birokratis.
Rendahnya produk riset dan publikasi yang berkualitas, terlebih yang dapat bersaing dan berkontribusi pada level internasional, menggambarkan kondisi tersebut.
Di sisi lain, gaji dosen di Indonesia juga sangat rendah jika dibandingkan dengan gaji dosen di negara lain. Hal ini membuat mereka lebih rela mencari tambahan penghasilan dengan melakukan pekerjaan administratif serta mengajar mata kuliah sebanyak-banyaknya.
Banyak perguruan tinggi menerapkan sistem remunerasi yang ditentukan berdasarkan kelebihan jumlah mengajar. Akibatnya, dosen berlomba-lomba dan berebut mengajar sebanyak-banyaknya ketimbang menggunakan waktunya untuk membaca, meneliti, dan menulis.
Keadaan ini berisiko menghasilkan kualitas pengajaran yang buruk. Materi pengajaran dari sistem seperti ini tidak ditopang dari hasil riset dan publikasi yang serius, melainkan sekadar mengulang-ulang materi yang sama dari tahun ke tahun.
Kampus pada akhirnya sekadar tempat mencari penghasilan para dosen dan belum menjadi tempat mengembangkan ilmu. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya jual-beli ijazah dan gelar akademis serta persekongkolan praktik plagiarisme.
Politisasi perguruan tinggi
Intervensi negara dalam pengelolaan universitas memperparah kultur akademis yang telah terbirokratisasi. Hal ini mendorong para akademisi berorientasi mengejar jabatan bahkan posisi politik di luar kampus. Ini di antaranya dilakukan dengan memberi kemudahan kepada pejabat publik menempuh studi di perguruan tinggi.
Menteri memiliki bobot suara 35% dalam pemilihan rektor berdasarkan Permenristekdikti Nomor 1 Tahun 2015. Porsi yang cukup besar ini merupakan cerminan bentuk intervensi.
Ketentuan mengenai persentase ini mulai diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 tahun 2010. Sebelumnya, sejak Orde Baru kewenangan mengangkat rektor berada di tangan presiden melalui Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1980. Soeharto menyusun aturan ini dengan berpegang salah satunya pada Tap MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN yang mengatur peran universitas sebagai pendukung pembangunan. Ketentuan ini makin mencederai otonomi kampus dan kebebasan akademik yang sebelumnya telah dilucuti dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK).
Melalui kebijakan tersebut, pemerintah saat itu melarang perguruan tinggi memiliki pandangan politik yang berlawanan dengan pemerintah. Dengan semangat yang sama, Presiden Jokowi berupaya mengembalikan mekanisme serupa untuk mencegah menguatnya radikalisme di kampus. Campur tangan presiden semacam itu justru semakin memperburuk otonomi kampus terhadap kekuasaan politik.
Akibat paling nyata dari lemahnya otonomi kampus adalah para calon rektor yang hendak bersaing dalam pemilihan berlomba membangun hubungan politik dengan penguasa.
Usai terpilih, banyak pimpinan universitas tetap membangun hubungan dengan para pejabat publik dan politikus untuk memperkuat legitimasi kekuasaan serta memperluas peluang karier politiknya.
Para pimpinan universitas melakukan ini dengan memberikan gelar akademis kehormatan kepada para pejabat dan politikus. Sebaliknya, para profesor dan petinggi universitas atas jasanya juga memperoleh jabatan politik di luar kampus.
Mahmuddin Yasin, lulusan doktor UNJ yang menjabat Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, pada 2016 dianugerahi gelar guru besar tidak tetap di Fakultas Ekonomi UNJ. Pada tahun yang sama, Fakultas Ekonomi UNJ juga memberikan gelar guru besar tetap kepada Syarifudin Tippe, jenderal purnawirawan TNI Angkatan Darat yang merupakan alumni pascasarjana UNJ.
Tidak hanya UNJ, kampus-kampus besar lain juga berlomba-lomba menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa kepada para pejabat dan politikus.
Murah hatinya universitas memberi gelar doktor kehormatan ini berbanding lurus dengan jabatan politik–seperti menjadi komisaris BUMN–yang banyak diobral untuk para petinggi (dan eks petinggi) kampus di berbagai perguruan tinggi, termasuk UNJ.
Wakil Rektor I Bidang Akademik UNJ, Muchlis Rantoni Luddin, misalnya, telah ditunjuk sebagai komisaris BUMN PT Adhi Karya, perusahaan negara yang bergerak di bidang konstruksi. Rektor UNJ periode sebelumnya, Bedjo Sujanto, juga telah menjabat komisaris BUMN Perum Jasa Tirta II, perusahaan negara yang bergerak di bidang pemanfaatan air.
Hilangnya etika
Kasus-kasus di atas mengisyaratkan bahwa kedudukan politik para akademisi, dan sebaliknya gelar-gelar akademik para pejabat dan politikus diraih dengan imbalan kekuasaan, jabatan, atau materi.
Ini menjelaskan mengapa etika dan prinsip akademis diabaikan dalam meloloskan disertasi para pejabat publik seperti yang diduga terjadi di UNJ. Lolosnya beberapa disertasi pejabat yang diduga memuat unsur plagiarisme mengindikasikan bahwa para promotornya juga terlibat dalam persekongkolan tersebut.
Dengan kata lain, kasus dugaan plagiarisme yang melibatkan banyak pejabat publik seperti di UNJ tidak bisa semata-mata dipahami sebagai masalah individual akibat lemahnya karakter, kejujuran, dan integritas akademik mahasiswa.
Masifnya kasus ini dapat terjadi karena kampus kurang berdaya dalam menentukan jalannya tradisi akademis karena luasnya kontrol negara. Akibatnya, para pejabat universitas yang berambisi mengejar kekuasaan, jabatan, dan materi tergiur untuk bersekongkol dengan politikus dengan menjual integritas akademis.
Persoalan ini hanya mungkin diatasi dengan menegakkan otonomi kampus. Fungsi kampus sebagai produsen pengetahuan harus dikembalikan melalui penghapusan segala bentuk intervensi negara terhadap universitas tanpa meniadakan tanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan.
*PhD Candidate in Politics at the Asia Institute, University of Melbourne
Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation