"Sudah lama sekali, pasien ditahan terlalu lama di UGD. Mereka terjebak di UGD," katanya saat istirahat sejenak dari tugasnya.
"Hal yang paling sulit adalah laju aliran pasien. Idealnya setelah perawatan UGD, pasien harus dipindahkan ke perawatan lebih lanjut, sesuai dengan kondisi mereka," jelasnya.
Perawat berusia 43 tahun ini telah bekerja di unit UGD yang sama selama 23 tahun. Dia mengakui bahwa pelatihannya sebagian besar diperolehnya saat bekerja.
"Pada tahun pertama sebagai perawat, ketika ada pasien yang mengalami kondisi yang tidak terduga, saya melakukan kesalahan," katanya jujur dengan mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus kesalahan telah menyebabkan kematian.
"Jadi lupa menangani satu hal, dan begitulah," katanya.
Saat ini Fatriani memimpin tim yang terdiri atas empat perawat di bangsal UGD. Mereka merawat 33 pasien atau sekitar tujuh atau delapan pasien untuk seorang perawat.
"Tekanan kami sangat tinggi," katanya tentang timnya.
Spesialis
Uniknya, sekitar 60 persen pasien yang masuk ke RS Cipto, yang dibangun pemerintah kolonial Belanda pada awal 1900-an, menderita penyakit gastro atau pencernaan.
"Ini sangat umum terjadi pada masyarakat, seperti dispepsia, diare, dan sakit perut," kata ahli gastroenterologi Murdani Abdullah.
"Kualitas makanan tentunya sangat relevan dengan penyakit perut seperti ini. Penyakit diare akut, misalnya, 80 persen itu dipengaruhi oleh kualitas makanan," jelasnya.
Di seluruh Indonesia, diare tetap menjadi salah satu penyakit pembunuh utama di kalangan anak-anak.
Dokter
Dokter Hadiki Habib memimpin unit UGD di RS Cipto, yang menurutnya merawat rata-rata 100 pasien per hari.
"Kami kewalahan. Dari perspektif kuantitas, ada standar yang tidak bisa kami capai," katanya.