Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menengok Setengah Jam Kesibukan di UGD RS Cipto Mangunkusumo

KOMPAS.com -- Seorang pasien remaja perempuan tiba dengan ambulans. Ketika pintu dibuka, dia tidak langsung kelihatan. Dia terbaring di tandu, tersembunyi di balik sekelompok orang dewasa, yang berusaha keluar dari mobil.

Begitu petugas-petugas menyingkir, pasien itu pun diangkat ke kereta dorong. Tampak darah warna merah tua mengalir dari hidungnya. Dia terlihat shock, gerakannya tidak bersemangat, dan matanya terbuka lebar.

Di dalam ruang unit gawat darurat (UGD), beberapa dokter berkerumun di sekitarnya. Seorang perawat menyeka hidung pasien berusia 10 tahun yang tampak lebih lamban dari usianya. Dia pun langsung menangis saat masker oksigen dipasang di kepalanya.

Pasien remaja ini menderita leukemia. Di Australia, kemungkinan dia akan bertahan. Namun di sini, dia hanya memiliki sedikit harapan.

ABC Australia merekam dia di UGD rumah sakit umum terbesar dan tersibuk di Indonesia, di mana untuk pertama kalinya kru media diberi akses.

Remaja tersebut ditempatkan di bagian yang disebut "zona merah" - tempat bagi mereka yang prospek sembuhnya sangat rendah.

Di RS Cipto Mangunkusumo di Jakarta Pusat, staf medis setiap harinya merawat 3.000 pasien rawat jalan.

Kesan pertama di UGD RS tersebut tampak berfungsi dengan baik-bersih, terlihat terkelola dengan baik dan tidak semrawut.

Tapi kemudian, realitas sistem medis dunia ketiga yang sangat berlebihan kapasitas pun mulai terungkap.

Di "zona merah" pada saat shooting kru ABC, yang dibatasi kurang dari setengah jam, ada sejumlah pasien lain yang terbaring sekarat.

Satu pasien memiliki kerusakan otak permanen akibat stroke. Dia tidak bisa dioperasi, tetapi tidak bisa dipindahkan dari bangsal darurat karena tidak ada tempat.

Pasien wanita lain telah berada di ventilator di UGD selama empat hari. Napasnya tertatih-tatih dan lamban, suaminya tampak mengawasi, lengan disilangkan, bahkan tidak ada tempat duduk.

Pasien lain telah mengalami shock septik dan penyakit ginjal kronis tanpa kemungkinan pemulihan.

Perawat

Fatriani, kepala perawat yang bertugas saat itu, mengatakan bahwa pasien wanita tersebut seharusnya dipindahkan ke unit perawatan intensif, tetapi tidak ada tempat.

"Sudah lama sekali, pasien ditahan terlalu lama di UGD. Mereka terjebak di UGD," katanya saat istirahat sejenak dari tugasnya.

"Hal yang paling sulit adalah laju aliran pasien. Idealnya setelah perawatan UGD, pasien harus dipindahkan ke perawatan lebih lanjut, sesuai dengan kondisi mereka," jelasnya.

Perawat berusia 43 tahun ini telah bekerja di unit UGD yang sama selama 23 tahun. Dia mengakui bahwa pelatihannya sebagian besar diperolehnya saat bekerja.

"Pada tahun pertama sebagai perawat, ketika ada pasien yang mengalami kondisi yang tidak terduga, saya melakukan kesalahan," katanya jujur dengan mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus kesalahan telah menyebabkan kematian.

"Jadi lupa menangani satu hal, dan begitulah," katanya.

Saat ini Fatriani memimpin tim yang terdiri atas empat perawat di bangsal UGD. Mereka merawat 33 pasien atau sekitar tujuh atau delapan pasien untuk seorang perawat.

"Tekanan kami sangat tinggi," katanya tentang timnya.

Spesialis

Uniknya, sekitar 60 persen pasien yang masuk ke RS Cipto, yang dibangun pemerintah kolonial Belanda pada awal 1900-an, menderita penyakit gastro atau pencernaan.

"Ini sangat umum terjadi pada masyarakat, seperti dispepsia, diare, dan sakit perut," kata ahli gastroenterologi Murdani Abdullah.

"Kualitas makanan tentunya sangat relevan dengan penyakit perut seperti ini. Penyakit diare akut, misalnya, 80 persen itu dipengaruhi oleh kualitas makanan," jelasnya.

Di seluruh Indonesia, diare tetap menjadi salah satu penyakit pembunuh utama di kalangan anak-anak.

Dokter

Dokter Hadiki Habib memimpin unit UGD di RS Cipto, yang menurutnya merawat rata-rata 100 pasien per hari.

"Kami kewalahan. Dari perspektif kuantitas, ada standar yang tidak bisa kami capai," katanya.

"Seorang perawat atau satu dokter harus mengawasi beberapa pasien," jelasnya.

Di Jakarta, mendengar sirene ambulans dan melihat kendaraan itu terjebak di kemacetan yang tak kenal ampun adalah kejadian biasa.

Perhatian pada kepentingan medis yang mendesak sulit didapatkan.

"Kami memiliki dua masalah dengan layanan ambulans: pertama, lalu lintas padat tentu saja, dan kedua, sistem ambulans," kata Dr Hadiki.

"Kita tidak bisa mengubah lalu lintas yang padat, tetapi kita bisa mengganti manajemen medis di ambulans. Sekarang tidak ada pengawas medis di ambulans," katanya.

Yang dia maksudkan adalah, paramedis seringkali tidak dapat memberikan perawatan medis yang menyelamatkan nyawa di atas ambulans.

Permintaan ABC Australia untuk shooting di UGD selama berjam-jam diperbolehkan, tetapi tidak sepenuhnya terlaksana. Shooting diakhiri lebih awal, tetapi rekaman sekilas tetap menceritakan tentang sistem kesehatan yang sedang kesulitan.

Indonesia membelanjakan hanya 2,8 persen PDB untuk sektor kesehatan, tiga kali lebih rendah dibandingkan Australia.

https://sains.kompas.com/read/2017/08/30/070600723/menengok-setengah-jam-kesibukan-di-ugd-rs-cipto-mangunkusumo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke