Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Sileri, Kawah Terganas Dieng yang Mampu Lenyapkan Desa

Kompas.com - 05/07/2017, 21:33 WIB
Iqbal Fahmi

Penulis

BANJARNEGARA, KOMPAS.com-- Akhir pekan lalu, Minggu (2/7/2017), publik dihebohkan dengan berita erupsi Kawah Sileri di Desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah. Salah satu kawah aktif di kompleks dataran tinggi Dieng itu mengalami letusan freaktif berupa semburan asap dan lumpur yang membumbung hingga ketinggian 50 meter.

Sedikitnya 20 orang yang tengah berwisata di lokasi tersebut mengalami dampak langsung. Semua korban dilarikan ke Puskesmas 1 Batur, Banjarnegara. Kebanyakan korban mengalami luka ringan dan hanya satu korban yang dirujuk ke RSUD Pemalang karena patah tulang saat berusaha menyelamatkan diri.

(Baca juga: Kawah Sileri Dieng Meletus, Lokasi Wisata Ditutup)

Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Dieng, Jawan Surip, berkata bahwa dirinya sangat terkejut ketika pertama mendapat kabar Kawah Sileri mengalami erupsi atau letusan.

Bagaimana tidak, selain masih banyak pengunjung yang berada di sekitar kawah, kekhawatiran Surip muncul karena Kawah Sileri dikenal sebagai kawah yang paling ganas dari puluhan kawah bernama yang ada di wilayah Dataran Tinggi Dieng.

Surip menceritakan, dalam sejarahnya, erupsi Kawah Sileri ini paling banyak memakan korban. Tercatat pada 4 Desember 1944, Kawah Sileri mengalami erupsi freatik serupa. Dalam tragedi itu, sedikitnya 117 orang terenggut nyawanya.

Setelah tragedi ’44, sejarah kelam kembali terulang di Kawah Sileri, tepatnya 13 Desember 1964. Satu kampung bernama Desa Jawera hilang akibat erupsi Sileri yang bertipe freatik eksplosif. Tercatat 114 orang tewas dalam aktivitas Sileri di rezim Presiden Soekarno itu.

“Ada satu kampung bernama Jawera hilang tersapu letusan Sileri. Sekarang prasastinya bisa dilihat di sekitar gerbang masuk komplek wisata kawah. Dari cerita senior yang ada di pos pemantauan ini, konon materi letusan Sileri tahun ’64 yang berupa batu seukuran kepalan tangan terlempar sampai di sini (pos), yang jaraknya sekitar dua kilometer,” ujar Surip.

(Baca juga: Letusan Sileri Pernah Jadi Sumber Tragedi, Renggut 117 Nyawa pada 1944

Saat ditanya mengenai penyebab utama erupsi Kawah Sileri, Surip mengatakan, gejala vulkanik itu merupakan potensi alamiah yang terjadi di setiap kawah. Saat ini, belum ada teknologi yang dapat memprediksi secara pasti, kapan kawah-kawah di Dieng Plateau akan mengeluarkan erupsi.

“Tapi kami selalu memantau kondisi kawah, lebih dari satu bulan sebelum erupsi freaktif kemarin. Kami sudah memberikan rekomendasi jarak aman pada radius 100 meter kepada pengelola wisata setempat. Namu,n masih saja dibuka sampai bibir kawah,” katanya.

Saat mendatangi Kawah Sileri pasca-erupsi, Kompas.com berbincang dengan Mustangin, warga setempat yang melihat langsung detik-detik saat asap dan lumpur terlontar dari dalam kawah. “Sebelumnya sudah ada suara seperti mendesis dan asap semakin banyak, tidak lama setelah itu baru meledak besar,” katanya.

Menurut Mustangin, dari dongeng turun-temurun waga sekitar, nama Sileri berasal dari kata leri yang dalam bahasa Jawa lokal berarti lumpur. Kata dia, nama itu tercipta karena warga sekitar percaya jika aktivitas kawah dapat terlihat dari penampakan lumpur kawah.

“Orang Jawa itu punya ilmu titen (pengamatan). Kawah Sileri meledak karena leri (lumpur)-nya mengental, mungkin akibat musim kemarau. Karena kental, jadi lubang rembesannya tersumbat, makanya jadi meledak,” ujar Mustangin.

Ratusan mayat bergelimpangan di jalan

Berbicara tentang rekam jejak letusan kawah di dataran tinggi Dieng, rasanya masih lekat di ingatan tentang kisah mengerikan gas beracun Kawah Timbang yang terjadi pada 20 Februari 1979.

Pada tragedi di pagi buta itu, tercatat 149 orang meregang nyawa. Mayat korban yang kebanyakan merupakan warga setempat bergelimpangan di jalanan kampung komplek pemukiman Dieng.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau