BANJARNEGARA, KOMPAS.com-- Akhir pekan lalu, Minggu (2/7/2017), publik dihebohkan dengan berita erupsi Kawah Sileri di Desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah. Salah satu kawah aktif di kompleks dataran tinggi Dieng itu mengalami letusan freaktif berupa semburan asap dan lumpur yang membumbung hingga ketinggian 50 meter.
Sedikitnya 20 orang yang tengah berwisata di lokasi tersebut mengalami dampak langsung. Semua korban dilarikan ke Puskesmas 1 Batur, Banjarnegara. Kebanyakan korban mengalami luka ringan dan hanya satu korban yang dirujuk ke RSUD Pemalang karena patah tulang saat berusaha menyelamatkan diri.
(Baca juga: Kawah Sileri Dieng Meletus, Lokasi Wisata Ditutup)
Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Dieng, Jawan Surip, berkata bahwa dirinya sangat terkejut ketika pertama mendapat kabar Kawah Sileri mengalami erupsi atau letusan.
Bagaimana tidak, selain masih banyak pengunjung yang berada di sekitar kawah, kekhawatiran Surip muncul karena Kawah Sileri dikenal sebagai kawah yang paling ganas dari puluhan kawah bernama yang ada di wilayah Dataran Tinggi Dieng.
Surip menceritakan, dalam sejarahnya, erupsi Kawah Sileri ini paling banyak memakan korban. Tercatat pada 4 Desember 1944, Kawah Sileri mengalami erupsi freatik serupa. Dalam tragedi itu, sedikitnya 117 orang terenggut nyawanya.
Setelah tragedi ’44, sejarah kelam kembali terulang di Kawah Sileri, tepatnya 13 Desember 1964. Satu kampung bernama Desa Jawera hilang akibat erupsi Sileri yang bertipe freatik eksplosif. Tercatat 114 orang tewas dalam aktivitas Sileri di rezim Presiden Soekarno itu.
“Ada satu kampung bernama Jawera hilang tersapu letusan Sileri. Sekarang prasastinya bisa dilihat di sekitar gerbang masuk komplek wisata kawah. Dari cerita senior yang ada di pos pemantauan ini, konon materi letusan Sileri tahun ’64 yang berupa batu seukuran kepalan tangan terlempar sampai di sini (pos), yang jaraknya sekitar dua kilometer,” ujar Surip.
(Baca juga: Letusan Sileri Pernah Jadi Sumber Tragedi, Renggut 117 Nyawa pada 1944)
Saat ditanya mengenai penyebab utama erupsi Kawah Sileri, Surip mengatakan, gejala vulkanik itu merupakan potensi alamiah yang terjadi di setiap kawah. Saat ini, belum ada teknologi yang dapat memprediksi secara pasti, kapan kawah-kawah di Dieng Plateau akan mengeluarkan erupsi.
“Tapi kami selalu memantau kondisi kawah, lebih dari satu bulan sebelum erupsi freaktif kemarin. Kami sudah memberikan rekomendasi jarak aman pada radius 100 meter kepada pengelola wisata setempat. Namu,n masih saja dibuka sampai bibir kawah,” katanya.
Saat mendatangi Kawah Sileri pasca-erupsi, Kompas.com berbincang dengan Mustangin, warga setempat yang melihat langsung detik-detik saat asap dan lumpur terlontar dari dalam kawah. “Sebelumnya sudah ada suara seperti mendesis dan asap semakin banyak, tidak lama setelah itu baru meledak besar,” katanya.
Menurut Mustangin, dari dongeng turun-temurun waga sekitar, nama Sileri berasal dari kata leri yang dalam bahasa Jawa lokal berarti lumpur. Kata dia, nama itu tercipta karena warga sekitar percaya jika aktivitas kawah dapat terlihat dari penampakan lumpur kawah.
“Orang Jawa itu punya ilmu titen (pengamatan). Kawah Sileri meledak karena leri (lumpur)-nya mengental, mungkin akibat musim kemarau. Karena kental, jadi lubang rembesannya tersumbat, makanya jadi meledak,” ujar Mustangin.
Ratusan mayat bergelimpangan di jalan
Berbicara tentang rekam jejak letusan kawah di dataran tinggi Dieng, rasanya masih lekat di ingatan tentang kisah mengerikan gas beracun Kawah Timbang yang terjadi pada 20 Februari 1979.
Pada tragedi di pagi buta itu, tercatat 149 orang meregang nyawa. Mayat korban yang kebanyakan merupakan warga setempat bergelimpangan di jalanan kampung komplek pemukiman Dieng.
Surip mengungkapkan, awal mula insiden mengerikan itu adalah aktivitas Kawah Sinila yang berada di antara Desa Batur, Desa Sumberejo, Desa Pekasiran, dan Desa Kopucukan, Kecamatan Batur, Banjarnegara.
Letusan Kawah Sinila dipicu oleh adanya gempa yang melanda kawasan Dieng. Tercatat ada tiga kali gempa yang terjadi pukul 01.55, 02.40, dan 04.00 WIB. Puncaknya, pada pukul 05.04 WIB.
Kawah Sinila meletus dan mengeluarkan awan kelabu pekat disertai dengan dentuman keras yang menyentak warga Dieng. Kurang dari satu jam, letusan kedua terdengar. Kali ini lahar panas mengalir dari dalam Kawah Sinila. Aliran lahar panas ini memotong akses jalan setempat sehingga membuat warga empat desa itu terisolasi.
“Tepat pukul 06.50, kawah baru, Sigluduk (250 meter sebelah Barat Kawah Sinila) mulai mengeluarkan uap. Total volume lahar yang keluar dari Kawah Sinila sekitar 15.000 meter kubik,” tutur Surip.
Warga Desa Kopucukan yang berada paling dekat dengan Kawah Sinila pun berduyun-duyun melarikan diri. Namun, mereka tidak sadar jika lubang kecil dan rekahan baru yang tercipta akibat aktivitas vulkanik itu mengeluarkan gas CO2 dan H2S yang sangat mematikan. Dari data PVMBG, kompleks Kawah Sinila mengembuskan sekitar 200.000 ton gas karbon dioksida murni dalam waktu sangat cepat.
Beberapa di warga yang menuju ke barat arah Batur justru terperangkap dalam kepungan gas beracun yang sudah menanti di sekitar Kawah Timbang. Puluhan warga yang mengungsi itu tak sadar mereka sudah berada di area yang dipenuhi gas beracun. Pasalnya, selain tidak berwarna, gas beracun itu juga tidak berbau.
Satu per satu dari mereka tiba-tiba terkapar lemas di tepi jalan, yang lainnya tewas di dekat sebuah gedung sekolah dasar setelah mencoba menolong sanak keluarga mereka yang telah bergelimpangan di jalan.
Sekitar 15.000 warga Dieng dari enam desa diungsikan. Status bencana nasional diturunkan dan zona tersebut diisolasi total. Beberapa hari kemudian, petugas dengan perlengkapan masker anti gas beracun turun ke lokasi untuk mengevakuasi mayat korban dan menguburkannya secara masal di desa setempat.
Puluhan ribu manusia bermukim di ceruk Kaldera Purba
Dataran Tinggi Dieng adalah kawasan vulkanik aktif di Jawa Tengah yang berada pada ketinggian rata-rata 2.000 meter diatas permukaan laut. Secara administratif, wilayah ini terbagi menjadi Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.
Dalam laporan ekspedisi cincin api yang ditulis oleh Kompas, Dieng merupakan kaldera raksasa purba berukuran panjang 14 kilometer dan lebar 6 kilometer dengan arah timur ke barat yang sangat padat penduduk.
Selain karena keindahan panorama alam dan potensi pariwisata, daya tarik utama warga untuk bermukim di ceruk kawah purba itu adalah tanah subur yang terbentang dari material letusan gunung api-gunung api di kompleks Dieng.
Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan, pada tahun 2015, total jumlah penduduk Dieng (Kecamatan Batur dan Kejajar) mencapai 80.333 jiwa. Dengan kata lain, kepadatan penduduk disana mencapai 956 jiwa per kilometer persegi.
Data tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah untuk melindungi semua warga negara yang bermukim di kawasan Dieng, mengingat di wilayah tersebut ada sekitar 10 kompleks kawah yang gejolaknya siap melenyapkan apapun yang berada di sekitarnya.
Untuk itu, keberadaan Pos Pemantauan Gunung Api Dieng yang merupakan bagian dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menjadi sebuah keniscayaan. Peralatan yang mumpuni, guna deteksi dini aktivitas vulkanik Dieng, harus selalu menjadi prioritas.
Namun demikian, pasca-erupsi Kawah Sileri, fakta tentang minimnya peralatan petugas pos pantau akhirnya terkuak. Surip mengatakan, alat Multi Gas Reader yang ditanam di kawah terganas Dieng itu telah rusak.
Bangkai teknologi pemantau gas beracun dan suhu kawah tersebut telah diangkat pada Senin (4/7/2017). Di sana terlihat jelas, bagaimana kekuatan ledakan yang membuat box baja itu menjadi tak lagi simetris.
Meskipun pihaknya selalu melakukan pengecekan ke lapangan setiap enam jam sekali, namun hal tersebut tampaknya tidak mangkus dan sangkil dibandingkan dengan menggunakan alat yang diinstal di sekitar lokasi kawah.
“Kami sudah mengajukan ke PVMBG untuk mengganti alat yang rusak di Kawah Sileri, alat ini sangat diperlukan untuk mengetahui kondisi kawah secara real time,” katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.