“Mahasiswa di sini itu lulus tidak buat skripsi, tetapi membuat bisnis untuk memasarkan produk temuannya,“ papar salah satu dosen Fakultas Bioentrepreneurship i3L, Sekar Wulan Prasetyaningtyas, Senin (10/1/2017).
Proyek pembuatan prototipe pada semester satu laiknya Plasmik ini, lanjut Sekar, akan terus dikembangkan pada semester tiga kuliah para mahasiswa. Prototipe tersebut, sebut dia, akan mulai dipamerkan juga di tempat ramai seperti mal.
Saat berbincang dengan Kompas.com, Felicia malah sudah punya ancang-ancang harga jual Plasmik, yaitu Rp 14.000 per kilogram (kg).
“Wajar harganya mahal karena ini bahan dasarnya susu dan lemon. Dari harga itu kami bisa mendapatkan untung Rp 500 per kg dan akan dapat profit lebih lagi bila kami membeli bahan dalam jumlah besar,“ kata Felicia.
Ke depan, ungkap Felicia, timnya berencana mengembangkan juga versi Plasmik yang relatif lebih murah harganya. Biaya produksi bisa ditekan antara lain dari penggantian bahan baku.
Susu sapi cair, misalnya, bisa diganti kalsium kasein dari ekstrak protein susu sapi berbentuk bubuk. Lemon sebagai sumber asam nitrat pun bisa diganti dengan citrus pectin yang didapat dari dinding sel buah marga jeruk-jerukan.
“(Harga versi ini) kira-kira bisa lebih murah 50 persen dibandingkan bila menggunakan bahan asli susu dan lemon, dengan hasil yang tetap dapat dimakan, tidak berbahaya, dan dapat terurai," papar Felicia.
Darurat sampah plastik
Terobosan seperti yang dilakukan kedelapan mahasiswa i3L di atas bisa jadi merupakan salah satu solusi untuk ancaman sampah plastik bagi lingkungan hidup. Terlebih lagi, Indonesia juga dinilai sudah punya masalah serius terkait sampah plastik.
Hasil riset Jenna R Jambeck dan kawan-kawan pada 2015, misalnya, mendapati Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik ke laut yang terbanyak kedua di dunia, setelah China. Rata-rata, 0,48 ton sampai 1,29 ton sampah plastik masuk ke perairan Indonesia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bahkan pernah pula menyatakan, penggunaan kantong plastik di Indonesia mencapai 9,5 miliar kantong per tahun.
"(Padahal) plastik sangat berbahaya karena tidak bisa terurai ketika berada di alam dan diperkirakan baru bisa terurai dalam waktu 400 tahun," papar Nurbaya seperti dimuat Kompas.com, Minggu (31/7/2016).
Dipublikasikan untuk konvensi Badan Lingkungan Hidup PBB (UNEA) di Nairobi, Kenya, pada Senin (23/05/2016), laporan itu menengarai produk plastik biodegradable gagal terurai cepat di laut.
Merujuk laporan tersebut, plastik berlogo biodegradable butuh suhu minimal 50 derajat Celcius, terpapar langsung radiasi ultraviolet sinar matahari, dan ada udara, untuk dapat cepat terurai. Prasyarat itu jauh panggang dari api dengan kondisi bawah laut yang cenderung gelap, dingin, dan minim oksigen.
Beragam kalangan pun belakangan makin lantang menyuarakan penggunaan kantong atau tas berulang kali pakai untuk belanja, sebagai upaya menekan penggunaan kantong plastik yang dianggap murah dan praktis.
Terobosan semacam pembuatan Plasmik ini, apalagi dimulai dari kampus, bisa jadi merupakan ikhtiar solutif bagi persoalan sampah plastik yang sejatinya merupakan ancaman bagi seluruh penghuni Bumi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.