KOMPAS.com - Sifat sampah plastik yang sulit terurai menjadi persoalan karena merusak lingkungan. Sekelompok mahasiswa International Institute for Life Science (i3L) pun turut mencoba mencari jalan keluar, dengan mengembangkan bahan kemasan serupa plastik yang bahkan aman dikonsumsi manusia.
Adalah Monica, Firnita, Christina, Adisty, Olivia, Felicia Yosephine, Gianfranco dan Kevin, kelompok mahasiswa yang berkolaborasi menghasilkan Plasmilk, bahan serupa plastik menggunakan bahan dasar produk turunan susu.
Ide dan proses pembuatan plasmik merupakan bagian dari tugas akhir semester satu perkuliahan mereka di i3L.
"Karena melihat banyak sungai tercemar sampah plastik, kami kepikiran membuat (bahan serupa) plastik yang mudah terurai. Di detik-detik terakhir, ide itu berkembang menjadi (bahan serupa) plastik yang bisa dimakan,” papar Felicia (18 tahun), tentang ide kreatif di balik pengembangan Plasmik, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (22/1/2017).
Plasmilk bisa aman dikonsumsi manusia, ungkap Felicia, karena berasal dari polimer kasein—protein yang terkandung dalam susu sapi.
Tak rumit
Lalu, bagaimana cara pembuatan plasmik? Langkah pertama yang mereka lakukan, tutur Felicia, adalah memanaskan 30 mililiter (ml) susu sapi. Pemanasan yang dilakukan tak sampai mencapai titik didih. Sesudahnya, ditambahkan asam sitrat dengan takaran tertentu.
Asam Sitrat adalah asam organik lemah yang ada di daun dan buah tanaman dari genus citrus alias jeruk-jerukan. Dalam percobaannya, Felicia dan kelompoknya menggunakan cairan lemon.
“Satu lemon kami peras dan dapat cairannya sebanyak 60 ml. Lalu, kami tambahkan air agar keasamannya berkurang dari 0,3 mol—satuan atom—menjadi 0,1 mol per liter,” papar Felicia.
Percampuran susu dan asam sitrat akan menghasilkan gumpalan adonan. Dari sinilah bahan dasar Plasmik berasal.
Bagaimana dengan kualitasnya? Hasil penelitian Departemen Pertanian AS (USDA) menunjukkan, kualitas kantong plastik berbahan dasar susu 500 kali lebih baik daripada plastik konvensional.
“(Bahan serupa) plastik jenis ini bisa mencegah oksigen dari luar masuk ke dalam. Jadi bisa melindungi makanan yang ada di dalamnya dari udara luar” kata Felicia.
Penelitian USDA menjadi salah satu referensi tugas akhir tersebut karena di Negara Paman Sam juga sudah muncul beberapa upaya serupa, mendapatkan alternatif bahan ramah lingkungan pengganti plastik.
Rencana bisnis
Setelah mendapatkan Plasmik, kedelapan mahasiswa tersebut berencana pula membuat rencana bisnis untuk pemasarannya. Motivasi untuk mewujudkan rencana itu makin kuat karena salah satu poin kurikulum i3L adalah mendidik mahasiswanya memiliki kemampuan wirausaha.
“Mahasiswa di sini itu lulus tidak buat skripsi, tetapi membuat bisnis untuk memasarkan produk temuannya,“ papar salah satu dosen Fakultas Bioentrepreneurship i3L, Sekar Wulan Prasetyaningtyas, Senin (10/1/2017).
Proyek pembuatan prototipe pada semester satu laiknya Plasmik ini, lanjut Sekar, akan terus dikembangkan pada semester tiga kuliah para mahasiswa. Prototipe tersebut, sebut dia, akan mulai dipamerkan juga di tempat ramai seperti mal.
Saat berbincang dengan Kompas.com, Felicia malah sudah punya ancang-ancang harga jual Plasmik, yaitu Rp 14.000 per kilogram (kg).
“Wajar harganya mahal karena ini bahan dasarnya susu dan lemon. Dari harga itu kami bisa mendapatkan untung Rp 500 per kg dan akan dapat profit lebih lagi bila kami membeli bahan dalam jumlah besar,“ kata Felicia.
Susu sapi cair, misalnya, bisa diganti kalsium kasein dari ekstrak protein susu sapi berbentuk bubuk. Lemon sebagai sumber asam nitrat pun bisa diganti dengan citrus pectin yang didapat dari dinding sel buah marga jeruk-jerukan.
“(Harga versi ini) kira-kira bisa lebih murah 50 persen dibandingkan bila menggunakan bahan asli susu dan lemon, dengan hasil yang tetap dapat dimakan, tidak berbahaya, dan dapat terurai," papar Felicia.
Darurat sampah plastik
Terobosan seperti yang dilakukan kedelapan mahasiswa i3L di atas bisa jadi merupakan salah satu solusi untuk ancaman sampah plastik bagi lingkungan hidup. Terlebih lagi, Indonesia juga dinilai sudah punya masalah serius terkait sampah plastik.
Hasil riset Jenna R Jambeck dan kawan-kawan pada 2015, misalnya, mendapati Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik ke laut yang terbanyak kedua di dunia, setelah China. Rata-rata, 0,48 ton sampai 1,29 ton sampah plastik masuk ke perairan Indonesia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bahkan pernah pula menyatakan, penggunaan kantong plastik di Indonesia mencapai 9,5 miliar kantong per tahun.
"(Padahal) plastik sangat berbahaya karena tidak bisa terurai ketika berada di alam dan diperkirakan baru bisa terurai dalam waktu 400 tahun," papar Nurbaya seperti dimuat Kompas.com, Minggu (31/7/2016).
Dipublikasikan untuk konvensi Badan Lingkungan Hidup PBB (UNEA) di Nairobi, Kenya, pada Senin (23/05/2016), laporan itu menengarai produk plastik biodegradable gagal terurai cepat di laut.
Merujuk laporan tersebut, plastik berlogo biodegradable butuh suhu minimal 50 derajat Celcius, terpapar langsung radiasi ultraviolet sinar matahari, dan ada udara, untuk dapat cepat terurai. Prasyarat itu jauh panggang dari api dengan kondisi bawah laut yang cenderung gelap, dingin, dan minim oksigen.
Beragam kalangan pun belakangan makin lantang menyuarakan penggunaan kantong atau tas berulang kali pakai untuk belanja, sebagai upaya menekan penggunaan kantong plastik yang dianggap murah dan praktis.
Terobosan semacam pembuatan Plasmik ini, apalagi dimulai dari kampus, bisa jadi merupakan ikhtiar solutif bagi persoalan sampah plastik yang sejatinya merupakan ancaman bagi seluruh penghuni Bumi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.