Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisakah Indonesia Bebas dari Jerat Plastik?

Kompas.com - 26/07/2016, 15:19 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

KOMPAS.com - Fakta bahwa hidup kita dikelilingi oleh plastik adalah benar. Bayangkan, mulai dari peralatan kehidupan sehari-hari seperti alat makan dan pakaian menggunakan material plastik.

Tak hanya itu, bahan dasar plastik ternyata juga digunakan untuk kebutuhan gedung dan konstruksi, elektronik, hingga kebutuhan rumah tangga. Padahal, plastik susah terurai ketika sudah menjadi sampah.

"Plastik adalah kenyataan yang harus dihadapi. Jaket, baju, hingga tas yang kita pakai bisa jadi terbuat dari plastik," ujar Principal Engineer Sentra Teknologi Polimer Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Johan A Nasiri, Selasa (5/4/2016).

Kebutuhan akan plastik, menurut Johan sudah menjadi bagian dari kehidupan. Selain tahan lama, plastik juga dinilai lebih murah. Pada pipa, misalnya, yang terbuat dari logam hanya tahan 8 tahun, sedangkan plastik bisa sampai 20 tahun.

(BacaKenyataan, Hidup Kita Dikelilingi Plastik...)

Contoh kecil lainnya adalah saat berbelanja. Sejak dulu, kantong plastik sudah digunakan sebagai wadah belanjaan. Melihat kondisi itu, rasanya sulit sekali memisahkan penggunaan plastik dengan kehidupan sehari-hari.

Padahal, sekali lagi, kenyataan bahwa plastik sulit diurai bukan sebatas teori.

Berkaca pada negara lain

Tak dimungkiri, akan sulit untuk memulai kebiasaan baru agar penggunaan plastik berkurang. Namun bila tidak dimulai, plastik bisa menjadi fosil masa depan.

(Baca: Mau Anak Cucu Kita Tinggal di Atas Fosil?)

HARIAN KOMPAS/WISNU WIDIANTORO KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Pembeli bersiap membawa belanjaan mereka yang dibungkus kantong plastik di sebuah pasar swalayan di Jakarta.

Riset dari Jenna Jambeck dan kawan-kawan pada 2015 menyebutkan, Indonesia merupakan negara penyumbang nomor dua terbanyak sampah plastik ke laut. Sampah yang dihasilkan mencapai 187,2 juta ton.

“Sampai ada prediksi pada 2050 jumlah sampah plastik di laut bisa lebih banyak dari jumlah ikan," kata Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Tuti Hendrawati Minarsih, Kamis (28/4/2016).

(BacaSaat Ikan Terancam Tak Lagi Jadi Tuan Rumah di Laut...)

Melihat kenyataan itu, upaya untuk memerangi penggunaan plastik pun dimulai oleh pemerintah. Uji coba kebijakan plastik berbayar di toko-toko ritel pun digelar pada 21 Februari 2016-31 Mei 2016. Harapannya, penggunaan plastik bisa menurun drastis.

KOMPAS.com/SRI NOVIYANTI Sigi Wimala setelah selesai rampok plastik di Kota Kasablanka, Kamis (28/4/2016).

Saat ini, dari pengamatan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), uji coba pertama yang berlangsung hingga Mei 2016 memberikan catatan adanya pengurangan penggunaan kantong plastik hingga 30 persen.

(Baca: Penggunaan Kantong Plastik Turun 30 Persen sejak Ada Kebijakan Berbayar)

Rupanya, semangat itu juga mendapat respons dari kalangan swasta, salah satunya PT Tempo Scan Pacific. Perusahaan ini turut menyediakan tas belanja berulang kali pakai Tempo Scan Love Earth (TSLE).

Sebanyak 740.000 tas belanja didistribusikan pabrikan tersebut per 1 Mei 2016 di toko-toko ritel di Indonesia. Konsumen bisa mendapatkan tas ini secara gratis bila membeli produk Tempo Scan senilai minimal Rp 25.000.

KOMPAS.com/SRI NOVIYANTI Sossialisasi tas belanja berulang kali pakai 'Tempo Scan Love Earth', Kamis (28/4/2016).

Tak hanya Indonesia, isu mengenai bahaya plastik juga tengah disorot dunia. Sejumlah negara sudah pula mengeluarkan kebijakan soal penggunaan kantong plastik.

Bangladesh, misalnya. Sampah plastik ditengarai menjadi pemicu banjir besar yang menimpa negara itu sepanjang 1988-1998. Banjir tersebut merendam dua per tiga wilayah Bangladesh.

Sampah kantong plastik yang berserakan ditengarai menyumbat hampir seluruh saluran air di negara itu. Pada 2002, Pemerintah Bangladesh melarang penggunaan kantong plastik.

Pada tahun yang sama, Irlandia juga memberlakukan aturan ketat soal kantong plastik. Di sana, ada pajak 0,15 euro untuk setiap pemakaian satu kantong plastik saat konsumen berbelanja.

Pajak itu bahkan meningkat menjadi 0,22 euro pada 2007. Tak disangka, pemberlakuan pajak memangkas penggunaan plastik oleh konsumen. Hasilnya, 90 persen konsumen di Irlandia berbelanja dengan membawa tas dari rumah.

Berbeda lagi dengan Negara-negara di Benua Afrika. Afrika Selatan dan beberapa negara lain seperti Somalia, Rwanda, Uganda, Kenya, dan Ethiopia, sudah pula memberlakukan larangaan penggunaan tas plastik sejak 2003.

Peritel yang kedapatan memberikan kantong plastik pada konsumen akan didenda 100.000 rand, setara 13.800 dollar AS—setara Rp 180,4 juta menggunakan kurs sekarang—atau hukuman penjara 10 tahun.

Sebelumnya, kebijakan ini diberlakukan karena penggunaan kantong plastik di sana mencapai 8 miliar lembar per tahun. Kini para konsumen dipaksa membawa tas belanja sendiri dari rumah.

Thinkstock Ilustrasi kantong belanja pengganti plastik

Selain negara-negara tersebut, Singapura, Australia, Meksiko, Italia, Amerika Serikat, Inggris dan banyak negara lain juga punya aturan ketat soal kantong plastik. Tujuannya pun sama, yaitu mengurangi penggunaan plastik.

Bahkkan, sekarang sudah ada peringatan hari tanpa kantong plastik sedunia yang diberlakukan tiap 3 Juli.

Nah, kebijakan yang dilakukan di Indonesia memang belum seketat di negara-negara tersebut. Saat ini ada surat edaran yang mengimbau toko-toko ritel menerapkan harga Rp 200 untuk setiap kantong belanja yang dipakai konsumen.

Di sejumlah daerah, sudah ada pula aturan yang lebih ketat dan rinci mengenai hal ini. Namun, tanpa kesadaran bersama masyarakat untuk mengurangi pemakaian plastik, semua kebijakan tersebut tak akan efektif.

Bagaimanapun, ancaman bagi lingkungan hidup dari setiap lembar plastik yang dipakai dalam aktivitas sehari-hari harus benar-benar disadari. Hanya mengandalkan aturan plastik berbayar ataupun denda atas pelanggaran pemakaiannya, tak akan cukup.

Siap memulai dari diri sendiri untuk tak lagi memakai kantong plastik? 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com