KOMPAS.com – Penggunaan plastik amat lekat dengan kehidupan sehari-hari. Selain kemasan, plastik kerap dipakai sebagai material dasar kebutuhan gedung, elektronik, perabotan rumah tangga, atau pakaian.
Sayangnya, plastik juga punya dampak tak baik, terutama buat lingkungan. Pasalnya, bahan plastik sulit diurai.
Penelitian di Universitas Leicester, Inggris, memberi kesimpulan bahwa penggunaan plastik dalam beragam kegiatan manusia akan membuat Bumi terlapisi plastik dalam 50 tahun ke depan.
Bayangkan, setiap tiga tahun, manusia menghasilkan hampir 1 miliar ton plastik—yang terbuat dari polietilen (turunan minyak bumi).
"Dengan tren penggunaan itu, plastik dapat terfosilisasi sampai jauh ke masa depan," ujar Guru Besar Paleobiologi Universitas Leicester Jan Zalasiewicz, seperti dikutip Harian Kompas pada Jumat (29/1/2016).
Penelitian tersebut dipublikasikan dalam jurnal Anthropocene pada 2013. Isinya mengingatkan bahwa penggunaan berlebihan plastik—bahan bersifat lembam dan sulit terurai—memberi dampak geologi yang serius.
Secara global, laporan terbaru Program Lingkungan PBB (UNEP) pada 2014 mencatat, setiap tahun ada 20 juta ton plastik yang berakhir di laut. Riset tersebut disusul pula oleh penelitian yang Jenna R Jambeck dan kawan-kawan pada 2015, yang menambahkan data bahwa Indonesia ada di posisi kedua penyumbang terbanyak sampah plastik ke laut, di bawah China.
Dengan fakta itu, laut bisa menjadi keranjang sampah raksasa yang berbahaya bagi biota di dalamnya. Plankton, ikan, dan burung-burung laut, misalnya, akan rawan pula mengonsumsi sampah plastik itu. Fakta akan semakin buruk bila keberadaan sampah plastik terlanjur masuk ke rantai makanan karena kondisi itu.
Mengurangi plastik
Pada 2009, riset Greeneration—organisasi non-pemerintah yang mengikuti isu sampah di Indonesia—menyatakan bahwa satu orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahun.
Bila diakumulasi, ada lebih dari 100 miliar kantong plastik—yang menghabiskan 12 juta barrel minyak bumi—digunakan masyarakat Indonesia dalam satu tahun. (Baca: Kenyataan, Hidup Kita Dikelilingi Plastik...)
Lalu, langkah serupa dilakukan Inggris pada 2015. Negara ini memberlakukan plastik berbayar di toko-toko, dengan banderol 5 pence per kantong, setara kurang lebih Rp 1.000. Hasilnya, kebijakan ini menurunkan penggunaan plastik hingga 80 persen di Wales.
Nah, kebijakan plastik berbayar juga mulai diterapkan di Indonesia. Sejak 21 Februari 2016, pemerintah memberlakukan kebijakan kantung plastik berbayar. Uji coba dilakukan selama kurang lebih tiga bulan sampai 5 Juni 2016.
Bentuk kebijakan itu, masyarakat wajib membayar Rp 200 per kantong plastik saat berbelanja di toko ritel. Tercatat, ada 22 kota di seluruh Indonesia yang sudah berpartisipasi dalam uji coba per tanggal itu. (Baca: Di Kota Mana Saja Bon Belanja "Ketambahan" Harga Kantong Keresek?).
Tentu, kewajiban tersebut tak berlaku untuk orang yang membawa kantong belanja sendiri. Meski secara nominal tambahan harga untuk kantong plastik—bahkan saat diakumulasi selama setahun—tidak besar, membawa sendiri kantong atau tas setiap kali berbelanja semestinya bisa dimulai memakai momentum kebijakan plastik berbayar.
Kalau besaran nominal tak menjadi gangguan bagi Anda agar beralih ke kebiasaan membawa sendiri kantong atau tas belanja, coba ingat-ingat saja dampak yang mungkin timbul bagi Bumi dan anak cucu kita—penghuni planet—akibat penggunaan bahan sulit terurai tersebut. Riset-riset di atas bisa menjadi rujukan.
Jangan sampai, amit-amit, generasi mendatang harus bersusah payah memilah makanan bebas kandungan plastik dari setiap jenis bahan makanan yang ada di Bumi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.