Menurut Henky Honggoh, pemerhati budaya Tionghoa di Palembang, Jumat (5/2/2016), naga merupakan simbol suci bagi masyarakat Tionghoa. Naga memiliki makna kehidupan dan keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa. Beragam simbol naga ada di segala aspek kehidupan masyarakat Tionghoa.
"Di dalam mitos naga memakan matahari itu terkandung makna yang buruk karena sinar matahari menghilang yang diartikan menjadi sebuah bencana. Namun, membunyikan petasan dan bebunyian lainnya menjadikan simbol kekuatan lain dari manusia yang mampu mengusir kekuatan yang jahat itu," ujarnya.
Sementara itu, di Skandinavia, masyarakat di Denmark, Swedia, dan Norwegia meyakini bahwa makhluk penelan matahari adalah serigala bernama Skoll. Sedikit berbeda, di Korea, makhluk yang mengejar-ngejar surya adalah anjing, sedangkan di Vietnam adalah kodok.
Hampir semua kebudayaan di dunia memiliki kisah soal gerhana. Kisah-kisah itu muncul karena manusia selalu mencari jawaban atas fenomena yang tidak diketahuinya.
Manusia berusaha memahami gerhana sesuai dengan kemampuan pikir dan zamannya. Usaha manusia memahami semesta dan dinamikanya itu melahirkan mitos.
"Mitos berkembang atau dikembangkan untuk menjawab pertanyaan mendasar manusia tentang diri dan lingkungannya," kata ahli mitologi Universitas Indonesia, Dwi Woro Retno Mastuti, Kamis (28/1/2016). "Mitos terlahir salah satunya sebagai usaha manusia memahami peristiwa semesta."
(Baca: Mitos Penambah Daya Pikat Gerhana)
Kisah kuno raksasa dan naga menelan matahari yang kini terkesan jauh dari rasionalitas itu dibingkai sesuai zaman untuk memahami keadaan semesta yang sangat jauh dari jangkauan kemampuan pikiran manusia saat itu.
Namun, dalam perkembangannya, manusia kemudian menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan dan mendapati jawaban-jawaban yang semakin rasional.
Sebelum Masehi, ilmuwan Babilonia bahkan sudah bisa meramalkan terjadinya gerhana dengan mengamati gerakan bulan dan matahari.
Kini, gerhana adalah peristiwa alam yang bisa dijelaskan dengan gamblang oleh ilmu pengetahuan. Peneliti sudah dapat meramalkan terjadinya gerhana dan durasinya, hingga hitungan detik. Ilmuwan bahkan memanfaatkan gerhana untuk membuktikan teori-teori lain di alam semesta.
Lalu, apakah cerita soal raksasa dan naga menjadi tidak relevan? Jawabannya tentu tergantung pandangan tiap-tiap orang dan dari sudut mana jawaban akan ditarik.
Secara budaya, cerita naga dan raksasa kini hadir dalam bentuk seni dan festival. Beragam pesta di seputaran momentum gerhana pun digelar di beberapa daerah.
Di Palembang, Sumatera Selatan, misalnya, gerhana bakal disambut dengan tari-tarian dan melibatkan lampion naga sepanjang 18 meter.
Sebanyak 20 siswa SMKN 7 Palembang membuat lampion naga sebagai bagian dari tarian kolosal Naga Memakan Matahari saat puncak gerhana matahari total.
Masyarakat dayak di Kalimantan Tengah menyambut gerhana dengan menabuh aneka alat musik. Saat kegelapan total terjadi, 55 kentongan atau disebut salakatok akan ditabuh agar kegelapan berakhir, dan hal negatif dijauhkan.
Selain itu, masih banyak kegiatan budaya lain terkait gerhana yang disajikan berdasarkan mitos dan cerita rakyat. Artinya, secara budaya, mitos itu masih relevan.
Mengenai hal itu, budayawan Sujiwo Tejo dalam akun Twitter-nya, @sudjiwotedjo, menuliskan, "Fenomena geometris gerhana matahari diterima, tetapi lakon matahari dimakan Batara Kala tetap diperlukan sebagai bumbu."
Rupanya, pada era modern, kisah dan simbol itu masih memiliki daya pikat untuk menjadi sumber inspirasi dan kreasi hiburan terkini. Mitos tidak akan lekang oleh waktu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.