KOMPAS.com — Dikisahkan, pada suatu ketika, para dewa berhasil menemukan tirta amerta setelah mencarinya ke lautan susu. Tirta amerta begitu penting karena dengan meminum air itu, seseorang akan hidup abadi.
Para dewa yang bersukacita kemudian berkumpul di kahyangan dan berbaris untuk meneguk tirta amerta. Namun, di antara mereka ada raksasa bernama Kala Rahu yang menyamar sebagai dewa demi mendapatkan keabadian.
Tepat saat dia mendapat giliran untuk minum air abadi, penyamarannya diketahui Dewa Surya dan Dewa Candra.
Kedua dewa yang mewakili matahari dan bulan itu kemudian berteriak. Dewa Wisnu, yang membagikan air itu, segera menarik cawan dari mulut Kala Rahu dan mencabut senjata cakra. Roda cakra berputar, dan menebas leher Kala Rahu.
Namun, raksasa Rahu telah meminum sedikit tirta amerta. Air abadi itu mengalir hingga tenggorokannya. Akibatnya, kepala Rahu tetap hidup, sedangkan badannya mati. Rahu kemudian melayang-layang tanpa badan sepanjang hayatnya.
Rahu menyimpan dendam kepada Dewa Surya dan Dewa Candra. Oleh karenanya, raksasa itu bersumpah, ia selamanya akan mengejar dan menelan kedua dewa itu. Kadang-kadang, Kala Rahu berhasil mencaplok Surya dan Candra. Saat itulah, gerhana matahari atau gerhana bulan terjadi.
Dalam kebudayaan Jawa, Bali, dan budaya lain yang dipengaruhi Hindu, Kala Rahu dikenal sebagai Batara Kala. Setiap kali ia berhasil menelan matahari, orang-orang segera memukul lesung, kentongan, dan membuat suara-suara nyaring agar Kala pergi dan memuntahkan matahari.
Cerita Batara Kala menelan matahari itu tercatat di Candi Belahan di Gempol, Pasuruan, Jawa Timur. Kompas edisi 7 Maret 2016, di halaman 16 dengan judul "10 Abad Jejak Gerhana di Nusantara", menuliskan, relief di candi peninggalan Kerajaan Mataram tersebut menggambarkan sosok raksasa Batara Kala hendak menelan medalion atau bulatan.
Di bawah bulatan itu, ada dua sosok yang ditafsirkan sebagai Dewa Surya atau Dewa Matahari dan Dewi Candra atau Dewi Bulan. Bulatan itu diduga sebagai matahari atau bulan.
Cerita serupa dengan alur berbeda dengan Rahu sebagai tokohnya juga beredar di masyarakat Bangka. Rau, begitu dia disebut, adalah raksasa yang ingin mempersunting dewi dari kahyangan. Cintanya ditolak, amarahnya memuncak. (Baca: Gerhana dan Dendam Abadi Raksasa Rau)
***
Mitos soal gerhana ketika matahari hilang ditelan makhluk lain bukan hanya ditemukan di kebudayaan yang dipengaruhi Hindu.
Dalam keyakinan kuno Tiongkok, gerhana diyakini sebagai peristiwa ketika seekor naga raksasa menelan matahari. Cerita naga ini serupa dengan legenda masyarakat Ternate yang menganggap gerhana terjadi karena ada naga menelan sang surya.
Dalam artikel Kompas pada 10 Februari 2016, mitos naga menelan matahari Tiongkok ini ternyata tercatat sejak sekitar 4.000 tahun silam. Pada 22 Oktober tahun 2134 sebelum Masehi, gerhana matahari total terjadi di daratan Tiongkok.
Akibat peristiwa tersebut, berkembanglah mitos adanya naga murka dan berupaya melahap matahari. Masyarakat membunyikan suara-suara keras seperti petasan.
Para prajurit Tiongkok kuno dikerahkan untuk menembakkan meriam ke arah matahari pada saat gerhana matahari berlangsung. Tindakan itu dilakukan agar matahari kembali bersinar.