KOMPAS.com – Aurora borealis, fenomena penampakan warna eksotis di kutub utara Bumi, disebut akan menghilang pada pengujung 2016. Jangan khawatir, fenomena ini diperkirakan hanya menghilang sementara. Lagi pula, ada alternatif cara untuk tetap bisa melihatnya.
Aurora adalah fenomena cahaya eksotis di langit, yang hanya terjadi di daerah dengan medan magnet kuat, seperti di kawasan kutub Bumi. Bila penampakannya di utara disebut aurora borealis, maka di sekitar kutub selatan namanya aurora australis. Daya tarik dari aurora juga berasal dari warna yang bergerak-gerak laiknya awan.
Fenomena aurora di Bumi bermula dari kekuatan energi matahari. Sebagai salah satu bintang, matahari punya inti bersuhu tak kurang dari 14 juta derajat Kelvin dan tekanan berkekuatan lebih dari 100 miliar kali atmosfer Bumi.
Cahaya matahari merupakan hasil reaksi fusi termonuklir di intinya. Energi dari reaksi fusi ini lalu merambat ke permukaan matahari yang juga memunculkan medan magnet sangat kuat. (Baca juga: Kecantikan Aurora Dilihat dari Antariksa Terkuak).
Daerah dengan medan magnet di matahari itu bersuhu lebih rendah dibandingkan area lain. Warna yang cenderung lebih gelap, menjadikannya jamak disebut sebagai bintik matahari alias sunspot. Bayangkan bintik ini sebagai bendungan yang menahan aliran deras arus sungai.
Ketika "bendungan" tersebut jebol, aliran energi dari inti matahari pun terlontar dan terjadilah angin matahari. Namanya menjadi badai matahari bila intensitasnya sangat tinggi. Inilah yang kemudian melahirkan fenomena aurora, termasuk di Bumi, yaitu ketika lontaran energi itu sampai bersinggungan dengan atmosfer.
Saat melewati planet yang tak punya atmosfer, angin matahari—terlebih lagi badai matahari—akan menghanguskan permukaan planet itu. Atmosfer ibarat tameng yang meredam imbas angin matahari. Meski begitu, tetap ada sebagian partikel angin matahari yang "merembes" ke lapisan atmosfer.
Saat angin matahari—yang pada dasarnya berupa partikel proton dan elektron—bersinggungan dengan medan magnet bumi, alirannya pun berbelok. Purnalah proses terjadinya fenomena aurora. (Baca juga: Mengamuk, Matahari Semburkan Partikel Berenergi Tinggi ke Bumi)
Cara mata menangkap warna
Semakin besar kekuatan energi angin matahari, makin dalam pula lapisan atmosfer yang tertembus. Perbedaan kedalaman atmosfer merupakan penyebab munculnya ragam warna aurora, karena setiap lapisan atmosfer punya atom penyusun yang berbeda.
Pada ketinggian 300 kilometer, misalnya, angin matahari yang bertabrakan dengan hidrogen akan menghadirkan pendar kemerah-merahan. Adapun pada ketinggian 140 kilometer, tabrakan dengan oksigen akan memunculkan aurora bernuansa warna biru atau ungu.
Nuansa ini pun dipengaruhi kemampuan retina mata manusia mendefinisikan warna. Sel batang di retina (rods) bisa mengenali warna hitam, putih, dan abu-abu. Adapun warna lain dikenali oleh sel kerucut (cones) di retina.
Warna yang dikenali cones pada dasarnya adalah cahaya dengan rentang spektrum antara 400 nanometer hingga 700 nanometer. Spektrum di bawah maupun di atas rentang itu tak bisa ditangkap sel retina. Seperti paparan situs web colormatters.com, warna secara teknis adalah efek visual dari komposisi spektrum cahaya yang terpancar, tersalur, atau terpantul.
Perpaduan cahaya yang berbeda spektrum dalam rentang itu merupakan dasar pembentukan warna lain yang akan bisa juga dikenali retina. Warna kuning dalam rentang spektrum 577 nanometer hingga 597 nanometer, misalnya, akan dikenali ketika cones hijau dan merah di retina teraktifkan.
Perpaduan semua spektrum warna dalam rentang tangkap retina akan menghasilkan warna putih. Kembali ke aurora, warna-warna eksotisnya merupakan akibat dari hamburan serangkaian spektrum cahaya dari gesekan partikel dalam jumlah besar secara bersamaan.