Setelah 2016, Tak Ada Lagi Aurora Borealis?

Kompas.com - 15/01/2016, 14:14 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


KOMPAS.com
– Aurora borealis, fenomena penampakan warna eksotis di kutub utara Bumi, disebut akan menghilang pada pengujung 2016. Jangan khawatir, fenomena ini diperkirakan hanya menghilang sementara. Lagi pula, ada alternatif cara untuk tetap bisa melihatnya.

Aurora adalah fenomena cahaya eksotis di langit, yang hanya terjadi di daerah dengan medan magnet kuat, seperti di kawasan kutub Bumi. Bila penampakannya di utara disebut aurora borealis, maka di sekitar kutub selatan namanya aurora australis. Daya tarik dari aurora juga berasal dari warna yang bergerak-gerak laiknya awan.

Fenomena aurora di Bumi bermula dari kekuatan energi matahari. Sebagai salah satu bintang, matahari punya inti bersuhu tak kurang dari 14 juta derajat Kelvin dan tekanan berkekuatan lebih dari 100 miliar kali atmosfer Bumi.

Cahaya matahari merupakan hasil reaksi fusi termonuklir di intinya. Energi dari reaksi fusi ini lalu merambat ke permukaan matahari yang juga memunculkan medan magnet sangat kuat. (Baca juga: Kecantikan Aurora Dilihat dari Antariksa Terkuak).

Daerah dengan medan magnet di matahari itu bersuhu lebih rendah dibandingkan area lain. Warna yang cenderung lebih gelap, menjadikannya jamak disebut sebagai bintik matahari alias sunspot. Bayangkan bintik ini sebagai bendungan yang menahan aliran deras arus sungai.

Ketika "bendungan" tersebut jebol, aliran energi dari inti matahari pun terlontar dan terjadilah angin matahari. Namanya menjadi badai matahari bila intensitasnya sangat tinggi. Inilah yang kemudian melahirkan fenomena aurora, termasuk di Bumi, yaitu ketika lontaran energi itu sampai bersinggungan dengan atmosfer.

Saat melewati planet yang tak punya atmosfer, angin matahari—terlebih lagi badai matahari—akan menghanguskan permukaan planet itu. Atmosfer ibarat tameng yang meredam imbas angin matahari. Meski begitu, tetap ada sebagian partikel angin matahari yang "merembes" ke lapisan atmosfer.

NASA Beragam penampakan aurora, termasuk aurora borealis di kawasan kutub utara Bumi, di situs web NASA. Gambar dicuplik pada Jumat (15/1/2016).

Pendar cahaya yang terjadi dalam proses pembentukan aurora muncul ketika partikel angin matahari bertabrakan dengan partikel di atmosfer Bumi. Adapun kesan gerakan aurora adalah pengaruh dari tarikan medan magnet yang berpusat di dua kutub Bumi.

Saat angin matahari—yang pada dasarnya berupa partikel proton dan elektron—bersinggungan dengan medan magnet bumi, alirannya pun berbelok. Purnalah proses terjadinya fenomena aurora. (Baca juga: Mengamuk, Matahari Semburkan Partikel Berenergi Tinggi ke Bumi)

Cara mata menangkap warna

Semakin besar kekuatan energi angin matahari, makin dalam pula lapisan atmosfer yang tertembus. Perbedaan kedalaman atmosfer merupakan penyebab munculnya ragam warna aurora, karena setiap lapisan atmosfer punya atom penyusun yang berbeda.

Pada ketinggian 300 kilometer, misalnya, angin matahari yang bertabrakan dengan hidrogen akan menghadirkan pendar kemerah-merahan. Adapun pada ketinggian 140 kilometer, tabrakan dengan oksigen akan memunculkan aurora bernuansa warna biru atau ungu.

Nuansa ini pun dipengaruhi kemampuan retina mata manusia mendefinisikan warna. Sel batang di retina (rods) bisa mengenali warna hitam, putih, dan abu-abu. Adapun warna lain dikenali oleh sel kerucut (cones) di retina.

Warna yang dikenali cones pada dasarnya adalah cahaya dengan rentang spektrum antara 400 nanometer hingga 700 nanometer. Spektrum di bawah maupun di atas rentang itu tak bisa ditangkap sel retina. Seperti paparan situs web colormatters.com, warna secara teknis adalah efek visual dari komposisi spektrum cahaya yang terpancar, tersalur, atau terpantul.

www.colormatters.com Ilustrasi cara mata melihat warna.

Warna biru-violet adalah spektrum terendah yang tertangkap mata, berasal dari cahaya yang lebih redup dibandingkan merah atau hijau. Itulah mengapa tingkatan cahaya biru-violet terlihat lebih gelap dibanding merah atau hijau. Namun, cahaya dengan kegelapan relatif juga dibutuhkan untuk mendapatkan warna yang semakin terang, misalnya dari kuning ke oranye.

Perpaduan cahaya yang berbeda spektrum dalam rentang itu merupakan dasar pembentukan warna lain yang akan bisa juga dikenali retina. Warna kuning dalam rentang spektrum 577 nanometer hingga 597 nanometer, misalnya, akan dikenali ketika cones hijau dan merah di retina teraktifkan.

Perpaduan semua spektrum warna dalam rentang tangkap retina akan menghasilkan warna putih. Kembali ke aurora, warna-warna eksotisnya merupakan akibat dari hamburan serangkaian spektrum cahaya dari gesekan partikel dalam jumlah besar secara bersamaan.

Sebelum redup

Merujuk Peter Delamare dari Institut Geofisika di Amerika Serikat, aurora borealis akan memasuki fase terendah dari siklus 11 tahun lintasan orbit matahari. Seperti dikutip situs web Clapway, aurora bakal meredup selewat 2016 dan diperkirakan baru muncul lagi pada 2024 atau 2026.

Kalaupun selewat 2016 masih ada pendaran terlihat di langit bagian utara Bumi, cahayanya redup dan tak secemerlang sebelumnya. Karena itu, jika punya waktu dan dana, tahun ini adalah waktu untuk menyaksikan aurora borealis sebelum meredup. Destinasi paling direkomendasikan untuk itu antara lain Alaska, Norwegia, Finlandia, Islandia, dan Skotlandia.

Namun, tak perlu khawatir juga bila jadwal kegiatan terlanjur padat atau wisata belum menjadi prioritas alokasi dana. Masih ada alternatif lain. Rekaman video, film dokumenter, dan foto aurora borealis sudah banyak bertebaran di beragam situs web, seperti milik lembaga penerbangan dan antariksa Amerika Serikat, NASA.

Meski demikian, untuk mendapati kualitas tayangan pendaran cahaya yang mendekati kondisi asli, pilihan peranti dan teknologinya merupakan penentu. Tak semua layar televisi apalagi komputer dan gadget punya teknologi yang bisa mereproduksi jutaan warna alami.

Menghadirkan keindahan fenomena alam seeksotis aurora borealis butuh layar yang bisa mereproduksi jutaan warna. Televisi Viera dari Panasonic, misalnya, yang punya teknologi hexa chroma drive.

Teknologi tersebut menggunakan enam warna dasar—merah, hijau, biru, cyan, magenta, dan kuning—untuk meracik tampilan warna senatural aslinya. Duduk manis di rumah pun, memakai teknologi semacam itu, kita tetap bisa menikmati eksotisme aurora borealis.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau