Dalam salah satu sesi di World Conference of Science Journalists (WCSJ) 2015 pada Rabu (10/6/2015) di Seoul, Abe menceritakan pengalamannya menyajikan laporan tentang dampak gempa dan bencana nuklir Fukushima pada tahun 2011.
Dia bercerita tentang pengalaman mengumpulkan data transaksi di supermarket-supermarket di Tokyo setelah kejadian gempa sampai seminggu sesudahnya hingga menganalisis data populasi orang yang memiliki smartphone.
Dari analisis, dia menemukan hal-hal menarik. Dari data transaksi, misalnya, Abe menemukan bahwa penjualan air meningkat tajam sehari setelah gempa. Sempat terjadi penurunan selama enam hari kemudian, penjualan air kembali naik tujuh hari setelah gempa.
Temuan itu, menurut Abe, dapat memberi gambaran tentang kekhawatiran warga Tokyo setelah gempa. "Setelah gempa, warga khawatir akan stok air sehingga memburu. Seminggu kemudian, orang seperti menimbun air karena khawatir radiasi Fukushima mencemari air," katanya.
Jurnalisme data
Pekerjaan mencari, memelototi, dan menganalisis data untuk menggali sebuah realita seperti yang dilakukan Abe kini menjadi tren baru dalam jurnalisme, menciptakan genre baru yang kerap disebut dengan jurnalisme data.
Jonathan Stray, wartawan freelance dan pengajar pada program gelar ganda Ilmu Komputer dan Jurnalisme di Columbia University, mengatakan, jurnalisme data sebenarnya adalah praktik yang sudah lama berkembang.
"Kita wartawan memang sering berhadapan dengan data, menjadikannya bahan berita. Bedanya, sekarang data journalism itu menjadi lebih sophisticated," ujarnya ketika berbicara dengan Kompas.com di sela WCSJ 2015.
Jurnalisme data menjadi lebih sophisticated seiring dengan banjirnya data di internet kerap disebut big data, yang memicu perkembangan tools untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Analisisnya akan bergantung pada kejelian terhadap angka dan kemahiran menggunakan tools pada komputer.
Data gempa, misalnya, tak harus melulu didapatkan dari Badan Meteorologi, Kilmatologi dan Geofisika (BMKG) atau United States Geological Survey (USGS), tetapi juga bisa dipanen dari Google Earth. Gambarannya lebih jelas dan gamblang.
Tentang tools, Justin Mayo, data journalist dari Seattle Times, memaparkan, beragam tools untuk analisis data kini tersedia, seperti Google Refine untuk "membersihkan" data, Phyton yang berperan dalam coding, serta Cometdocs untuk mengubah format data untuk dianalisis.
Charles Sefie, profesor jurnalisme dari New York University, memaparkan bahwa tools lama pun masih berguna. "Pivot Table dalam Microsoft Excel sangat ampuh untuk menganalisis data dengan mudah dan dapat dipakai untuk pemula," katanya.
Secara proses, jurnalisme data kini juga lebih mengagumkan. Proses pemanenan data tak cuma minta ke pemerintah, tetapi misalnya juga menggunakan program atau kode tertentu untuk memanen data dari media sosial.
Untuk visualisasinya sendiri, berkembang pula beragam perangkat seperti Storify yang gratis dan mudah dioperasikan. Ada juga Adobe Voice yang memungkinkan pembuatan digital storytelling dengan tablet atau smartphone.