Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dongeng Geologi tentang Nusantara

Kompas.com - 10/03/2014, 08:17 WIB
Ahmad Arif

Penulis

Masalahnya ada di produk perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam kita juga masih mengadopsi pola kolonial. Padahal, hukum itu dibuat penguasa demi kepentingan mereka saat itu.

Secara umum aturan pengusahaan tambang, migas dan perkebunan mengacu pada pemberian hak khusus pada investor. Hak-hak ini mereduksi hak-hak rakyat pada pemanfaatan alam. Misalnya, hukum adat menyatakan bahwa menemukan buah jatuh adalah hak yang menemukan. Namun hak penemu ini hilang ketika tanah itu pengelolaannya diberikan pada investor.

Zaman kolonial, “investor” itu adalah VOC. Mereka mengambil sumber daya alam dengan tentara. Saat ini “investor” bisa dari luar maupun dari dalam, dalam bentuk lain tapi prinsipnya sama, cari untung sebanyak-banyaknya dengan mengekspor bahan mentah.

Aturan larangan ekspor bahan mentah baru saja dibuat Undang-Undang No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Sebenarnya sangat terlambat, tetapi ini saja mengalami hambatan dari dalam selain tekanan dari luar, yang menunjukkan bahwa mentalitas terjajah masih ada di negeri ini.

Dalam kurun 2030 – 2050, Indonesia akan punya banyak tenaga kerja. Kalau sumber daya alam hilang akan berbahaya. Di negara lain, seperti India dan China, acadangan batu bara dalam negeri disimpan. Mereka pilih beli batu bara dari negara lain, termasuk dari Indonesia. Mereka simpan untuk masa mendatang.

Mulai 30 tahun terakhir, konsumsi sumber daya alam, termasuk energi, sangat besar. Padahal eksplorasinya berkurang. Penemuan lapangan baru pun tidak banyak. Padahal, dari eksplorasi hingga produksi rata-rata butuh waktu 30-an tahun. Misalnya, kita ketemu lahan minyak Duri dan Minas tahun 1945-an, namun baru berproduksi sekitar tahun 1970-an. Sebagai geolog saya sangat gelisah dengan situasi ini.

Apa yang Anda tawarkan untuk perubahan?

Kita cenderung berpikir jangka pendek. Misalnya, value multiplier effect dari gas jika dijual dalam negeri diperkirakan 25 dollar AS per mmbtu (million british thermal unit). Sedangkan harga gas ekspor melalui pipa 15,6 dollar AS  per mmbtu, untuk LNG 14,5 dollar AS per mmbtu. Harga gas domestik 5,8 dollar AS per mmbtu. Kalau SKKMigas (ESDM) dituntut meningkatkan pendapatannya (sesuai APBN), tentunya akan pilih ekspor. Demikian juga KKKS (kontraktor gas) lebih suka ekspor.

Dalam pembukuan ESDM tertulis lebih untung dengan mengekspor, tetapi secara keseluruhan negara berarti kehilangan potensial multiplier effect yang 25 dollar AS per mmbtu. Kalau kita terus berorientasi menjual gas ke luar negeri, secara jangka panjang akan jadi masalah serius, sebagaimana sudah terjadi di minyak bumi.

Pokoknya, jangan lagi menjual bahan mentah keluar! Jangan menghitung sekian ton batu bara yang bisa diekspor, tetapi berapa gigawatt batu bara yang kita bawa ke luar. Ton adalah satuan untuk batu bara dalam bentuk bahan mentah, tetapi gigawatt adalah satuan energi. Ini adalah soal paradigma berpikir. Contoh nyata adalah Kalimantan, yang mengekspor banyak batu bara dalam bentuk mentah, tetapi impor energi dari malaysia. Ini ironis.

Ada usulan konkrit?

Dalam perhitungan fiskal (bagi hasil) migas (energi) mestinya lebih utamakan alokasi ketimbang proporsi bagi hasil. Bisa saja dibuat aturan kontrak pengusahaan bagi hasil dengan mengutamakan alokasi dalam negeri ketimbang ekspor.

Saat ini kontrak bagi hasil minyak, negara mendapat 85 persen dan kontraktor 15 persen. Sedangkan gas, negara 70 persen dan sisanya kontraktor. Usulan saya diubah menjadi 50:50, dengan catatan gas dijual untuk dalam negeri.

Kita butuh visi jangka panjang dan pemahaman bersama untuk melihat sumber daya alam tidak hanya sebagai komoditas bahan mentah. Sekali lagi, ini juga soal pemahaman terhadap geologi, terhadap kondisi alam dan lingkungan di negeri tempat kita hidup dan mati ini...

Baca juga: Pakdhe yang Gemar Menulis

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com