Oleh: Ahmad Arif
Nusantara diberkahi bentang alam elok, tanah subur, hutan hujan kaya satwa endemis, dan berlimpah mineral. Segenap kekayaan ini merupakan berkah dari kondisi geologi pulau-pulau penyusun negeri yang hiperaktif.
Namun, kondisi ini juga yang membuat negeri ini rentan dilanda bencana geologi, seperti gempa, tsunami, serta letusan gunung api. “Sekalipun bencana alam berulang terjadi di masa lalu, namun kesadaran bencana kita masih rendah. Kondisi ini disebabkan minimnya pengetahuan geologi, dan itu bisa fatal,” kata Rovicky.
Dia mencontohkan besarnya korban tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 karena banyak warga yang justru ke pantai melihat laut surut sesaat setelah gempa. Padahal, surutnya laut ini adalah salah satu tanda akan terjadinya tsunami.
“Jika orang Aceh diberi tahu sebelumnya soal tanda-tanda tsunami, korban mungkin tidak akan sebanyak itu,” kata dia. “Jika kita memahami geologi, maka kita akan mengerti kondisi sekitar. Karena itu ilmu ini harus dibagi.”
Ilmu untuk hidup
Keinginan untuk berbagi ilmu geologi inilah yang mendorong Rovicky menulis di internet sejak tahun 1998. Awalnya ada karyawan bagian administrasi di kantornya, perusahaan minyak di Jakarta, yang kerap bertanya soal perminyakan dan geologi dasar seperti, “Kenapa sungai berkelok-kelok?” atau “Kenapa terjadi banjir?”
Rovikcy kemudian memberikan penjelasan dengan menulis di internet. Saat itu belum ada blog berformat seperti sekarang. “Awal-awal html. Belum bisa buat penjelasan dengan gambar,” kata dia.
Rovicky terus menulis tentang geologi, sekalipun dia kemudian pindah ke sejumlah perusahaan migas lain, termasuk ke Malaysia dan Brunei. Hingga kini blog “Dongeng Geologi” dikunjungi 2.287.409 orang, dan sebagian isinya telah menyebar luas karena Rovicky membebaskan pengunjung menyalin tulisannya. Ada tiga hal yang biasa ditulis Rovicky, yaitu soal ekstraksi mineral, mitigasi bencana, dan pelestarian lingkungan.
Beberapa bulan sebelum bencana Aceh, sebenarnya Rovicky menulis tentang ancaman tsunami di barat Sumatera. Dia menyitir pernyataan geolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman, yang mempresentasikan hasil penelitiannya tentang Mentawai di depan para geolog di Jakarta.
“Saat menulis itu, saya belum begitu terbayang besarnya bahaya tsunami,” kata dia.
Sejak bencana Aceh, Rovicky tertarik membaca dan menulis soal tsunami dan bencana alam lainnya. Selain menulis di blog, Rovicky juga berbagi pengetahuan soal geologi dan kebencanaan dengan datang ke sekolah-sekolah dasar hingga menengah.
Apa pentingnya geologi bagi masyarakat?
Hingga saat ini masyarakat kebanyakan mengaitkan geologi dengan eksplorasi pertambangan. Padahal, geologi juga ilmu tentang bagaimana bertahan hidup.
Di sisi lain, kesenjangan remunerasi menyebabkan profesi di bidang mitigasi bencana kurang diminati. Sisi bisnis bidang kebencanaan masih dipandang sebelah mata. Bahkan para penyelamat masih dilihat sebagai profesi amatir atau sukarelawan.
Akhirnya kondisi ini berdampak pada sedikitnya orang yang mau menggeluti profesi kegunungapian dan kebencanaan lainnya. Padahal mereka juga harus dihargai secara profesional juga.
Kenapa membuat blog geologi populer?
Saya melihat masyarakat sebenarnya haus dengan informasi kegeologian, misalnya kenapa tsunami bisa terjadi atau apakah akan berulang lagi. Di sisi lain, media massa kebanyakan hanya menulis drama saat kejadian bencana atau berupa berita saja. Masyarakat butuh informasi dan penjelasan yang lebih lengkap, dengan bahasa yang mudah difahami.
Beberapa kali saya bertanya kepada pengunjung blog saya, kenapa tidak mencari tahu soal-soal geologi ini ke situs-situs resmi milik pemerintah seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Mereka kebanyakan menjawab tak pernah mendapat respons jika bertanya kepada ahli-ahlinya.
Berkembangnya dunia internet bisa menjadi kesempatan untuk menyampaikan informasi secara lebih mudah dan interaktif ke masyarakat. Tiap departemen di pemerintah bisa memanfaatkan ini sebenarnya, terutama bagian litbangnya.
Minimnya penjelasan secara ilmiah, termasuk dari disiplin ilmu geologi membuat masyarakat membangun logika sendiri. Logika yang paling mudah adalah dengan mengaitkannya dengan unsur “klenik”. Akibatnya, kita kerap tidak belajar dari setiap kejadian yang telah lewat.
Bukankah pendidikan ilmu alam diajarkan sejak dini di sekolah?
Selama ini, pola pengajaran ilmu alam di sekolah-sekolah di Indonesia tidak membumi. Lebih banyak dilakukan dari buku, dengan teknik menghafal. Materi dan kurikulumnya seragam. Setiap anak diwajibkan mengerti semua hal yang barangkali kurang bermakna pada kebutuhan “survival”-nya.
Dengan model pendidikan seperti ini, anak-anak akhirnya kesulitan memahami kondisi alam sekitar. Cara terbaik untuk belajar ilmu alam itu harusnya langsung dari alam, sesuai konteks. Misalnya, orang Sumatera, butuh porsi lebih pelajaran soal gempa dan tsunami, dan bagaimana menghadapinya. Di Jawa butuh lebih banyak soal pelajaran gunung api.
Salah kelola
Ketidakfahaman soal geologi ini, menurut Rovicky, tak hanya dialami masyarakat kebanyakan, tetapi juga oleh pejabat pemerintah maupun legislatif. Akibatnya, banyak kebijakan keliru yang bisa memicu petaka.
Rovicky mencontohkan tentang salah kelola kekayaan tambang. Ratusan tahun Bumi nusantara digali mineralnya. Tetapi, Indonesia tak juga beranjak menjadi negeri makmur. Setidaknya, kemakmuran itu belum merata dinikmati rakyat. Sebaliknya kerusakan alam kian nyata.
Indonesia saat ini berada dalam ancaman krisis energi. Kebutuhan minyak bumi terus melonjak, seiring harganya di pasar dunia yang meninggi. Padahal produksi minyak menurun. Persoalannya bukan hanya cadangan mineral yang menipis, tetapi menurut Rovicky, juga dipicu kebijakan menjual mineral dalam bentuk mentah. “Kebijakan ini telah berlangsung sejak era kolonial,” kata dia.
Kenapa kebijakan kolonial ini dilestarikan?
Masalahnya ada di produk perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam kita juga masih mengadopsi pola kolonial. Padahal, hukum itu dibuat penguasa demi kepentingan mereka saat itu.
Secara umum aturan pengusahaan tambang, migas dan perkebunan mengacu pada pemberian hak khusus pada investor. Hak-hak ini mereduksi hak-hak rakyat pada pemanfaatan alam. Misalnya, hukum adat menyatakan bahwa menemukan buah jatuh adalah hak yang menemukan. Namun hak penemu ini hilang ketika tanah itu pengelolaannya diberikan pada investor.
Zaman kolonial, “investor” itu adalah VOC. Mereka mengambil sumber daya alam dengan tentara. Saat ini “investor” bisa dari luar maupun dari dalam, dalam bentuk lain tapi prinsipnya sama, cari untung sebanyak-banyaknya dengan mengekspor bahan mentah.
Aturan larangan ekspor bahan mentah baru saja dibuat Undang-Undang No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Sebenarnya sangat terlambat, tetapi ini saja mengalami hambatan dari dalam selain tekanan dari luar, yang menunjukkan bahwa mentalitas terjajah masih ada di negeri ini.
Dalam kurun 2030 – 2050, Indonesia akan punya banyak tenaga kerja. Kalau sumber daya alam hilang akan berbahaya. Di negara lain, seperti India dan China, acadangan batu bara dalam negeri disimpan. Mereka pilih beli batu bara dari negara lain, termasuk dari Indonesia. Mereka simpan untuk masa mendatang.
Mulai 30 tahun terakhir, konsumsi sumber daya alam, termasuk energi, sangat besar. Padahal eksplorasinya berkurang. Penemuan lapangan baru pun tidak banyak. Padahal, dari eksplorasi hingga produksi rata-rata butuh waktu 30-an tahun. Misalnya, kita ketemu lahan minyak Duri dan Minas tahun 1945-an, namun baru berproduksi sekitar tahun 1970-an. Sebagai geolog saya sangat gelisah dengan situasi ini.
Apa yang Anda tawarkan untuk perubahan?
Kita cenderung berpikir jangka pendek. Misalnya, value multiplier effect dari gas jika dijual dalam negeri diperkirakan 25 dollar AS per mmbtu (million british thermal unit). Sedangkan harga gas ekspor melalui pipa 15,6 dollar AS per mmbtu, untuk LNG 14,5 dollar AS per mmbtu. Harga gas domestik 5,8 dollar AS per mmbtu. Kalau SKKMigas (ESDM) dituntut meningkatkan pendapatannya (sesuai APBN), tentunya akan pilih ekspor. Demikian juga KKKS (kontraktor gas) lebih suka ekspor.
Dalam pembukuan ESDM tertulis lebih untung dengan mengekspor, tetapi secara keseluruhan negara berarti kehilangan potensial multiplier effect yang 25 dollar AS per mmbtu. Kalau kita terus berorientasi menjual gas ke luar negeri, secara jangka panjang akan jadi masalah serius, sebagaimana sudah terjadi di minyak bumi.
Pokoknya, jangan lagi menjual bahan mentah keluar! Jangan menghitung sekian ton batu bara yang bisa diekspor, tetapi berapa gigawatt batu bara yang kita bawa ke luar. Ton adalah satuan untuk batu bara dalam bentuk bahan mentah, tetapi gigawatt adalah satuan energi. Ini adalah soal paradigma berpikir. Contoh nyata adalah Kalimantan, yang mengekspor banyak batu bara dalam bentuk mentah, tetapi impor energi dari malaysia. Ini ironis.
Ada usulan konkrit?
Dalam perhitungan fiskal (bagi hasil) migas (energi) mestinya lebih utamakan alokasi ketimbang proporsi bagi hasil. Bisa saja dibuat aturan kontrak pengusahaan bagi hasil dengan mengutamakan alokasi dalam negeri ketimbang ekspor.
Saat ini kontrak bagi hasil minyak, negara mendapat 85 persen dan kontraktor 15 persen. Sedangkan gas, negara 70 persen dan sisanya kontraktor. Usulan saya diubah menjadi 50:50, dengan catatan gas dijual untuk dalam negeri.
Kita butuh visi jangka panjang dan pemahaman bersama untuk melihat sumber daya alam tidak hanya sebagai komoditas bahan mentah. Sekali lagi, ini juga soal pemahaman terhadap geologi, terhadap kondisi alam dan lingkungan di negeri tempat kita hidup dan mati ini...
Baca juga: Pakdhe yang Gemar Menulis
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.