Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dongeng Geologi tentang Nusantara

Kompas.com - 10/03/2014, 08:17 WIB
Ahmad Arif

Penulis

Di sisi lain, kesenjangan remunerasi menyebabkan profesi di bidang mitigasi bencana kurang diminati. Sisi bisnis bidang kebencanaan masih dipandang sebelah mata. Bahkan para penyelamat masih dilihat sebagai profesi amatir atau sukarelawan.

Akhirnya kondisi ini berdampak pada sedikitnya orang yang mau menggeluti profesi kegunungapian dan kebencanaan lainnya. Padahal mereka juga harus dihargai secara profesional juga.

Kenapa membuat blog geologi populer?

Saya melihat masyarakat sebenarnya haus dengan informasi kegeologian, misalnya kenapa tsunami bisa terjadi atau apakah akan berulang lagi. Di sisi lain, media massa kebanyakan hanya menulis drama saat kejadian bencana atau berupa berita saja. Masyarakat butuh informasi dan penjelasan yang lebih lengkap, dengan bahasa yang mudah difahami.

Beberapa kali saya bertanya kepada pengunjung blog saya, kenapa tidak mencari tahu soal-soal geologi ini ke situs-situs resmi milik pemerintah seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Mereka kebanyakan menjawab tak pernah mendapat respons jika bertanya kepada ahli-ahlinya.

Berkembangnya dunia internet bisa menjadi kesempatan untuk menyampaikan informasi secara lebih mudah dan interaktif ke masyarakat. Tiap departemen di pemerintah bisa memanfaatkan ini sebenarnya, terutama bagian litbangnya.

Minimnya penjelasan secara ilmiah, termasuk dari disiplin ilmu geologi membuat masyarakat membangun logika sendiri. Logika yang paling mudah adalah dengan mengaitkannya dengan unsur “klenik”. Akibatnya, kita kerap tidak belajar dari setiap kejadian yang telah lewat.

Bukankah pendidikan ilmu alam diajarkan sejak dini di sekolah?

Selama ini, pola pengajaran ilmu alam di sekolah-sekolah di Indonesia tidak membumi. Lebih banyak dilakukan dari buku, dengan teknik menghafal. Materi dan kurikulumnya seragam. Setiap anak diwajibkan mengerti semua hal yang barangkali kurang bermakna pada kebutuhan “survival”-nya.

Dengan model pendidikan seperti ini, anak-anak akhirnya kesulitan memahami kondisi alam sekitar. Cara terbaik untuk belajar ilmu alam itu harusnya langsung dari alam, sesuai konteks. Misalnya, orang Sumatera, butuh porsi lebih pelajaran soal gempa dan tsunami, dan bagaimana menghadapinya. Di Jawa butuh lebih banyak soal pelajaran gunung api.

Salah kelola

Ketidakfahaman soal geologi ini, menurut Rovicky, tak hanya dialami masyarakat kebanyakan, tetapi juga oleh pejabat pemerintah maupun legislatif. Akibatnya, banyak kebijakan keliru yang bisa memicu petaka.

Rovicky mencontohkan tentang salah kelola kekayaan tambang. Ratusan tahun Bumi nusantara digali mineralnya. Tetapi, Indonesia tak juga beranjak menjadi negeri makmur. Setidaknya, kemakmuran itu belum merata dinikmati rakyat. Sebaliknya kerusakan alam kian nyata.

Indonesia saat ini berada dalam ancaman krisis energi. Kebutuhan minyak bumi terus melonjak, seiring harganya di pasar dunia yang meninggi. Padahal produksi minyak menurun. Persoalannya bukan hanya cadangan mineral yang menipis, tetapi menurut Rovicky, juga dipicu kebijakan menjual mineral dalam bentuk mentah. “Kebijakan ini telah berlangsung sejak era kolonial,” kata dia.

Kenapa kebijakan kolonial ini dilestarikan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com