Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Intim Gay, Android, dan HIV

Kompas.com - 01/12/2013, 13:26 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

Tujuan yang sama juga dimiliki Deni, seorang karyawan swasta di Jakarta. "Cari teman aja. Kadang sengaja saya online di kantor biar tahu ada gay yang satu kantor atau tidak," ucapnya.

Namun, sejumlah gay mengakui, motivasi yang paling umum adalah mencari pasangan untuk berhubungan intim.

"Ya pasti cari pasanganlah ya, seks, apa lagi?" cetus Anjas.

Ardi, pekerja freelance di Jakarta, juga mengakuinya. "Pasti kebanyakan cari seks, yang bilang nggak tuh cuma munafik," ujarnya tegas.

Dari Grindr, Anjas menemukan beberapa pasangan one night stand. Bila menyukai, ia akan melakukan hubungan intim bersama orang yang sama untuk kali kedua dan seterusnya.

Iqbal, meski baru sebulan memakai, sudah mendapatkan banyak pasangan seksual dari aplikasi JackD.

"Kalau sudah kebelet, ya random aja," katanya.

Sapa-menyapa dengan kata "Hai", "Stay di mana?", "Top or bottom", "Mau fun nggak?" efektif guna mendapatkan pasangan untuk berhubungan intim secara instan.

Dalam praktik seks dengan pasangan random, hubungan intim yang tak aman kerap terjadi.

Anjas pernah mengalaminya. Dalam salah satu hubungan seksualnya, ia lupa memastikan bahwa pasangan hubungan intimnya memakai kondom.

"Waktu itu sampai penetrasi. Dia top-nya. Pas ejakulasi, gue baru nanya kenapa enggak pakai pengaman. Gue tanya. Dia bilang udah enggak tahan lagi dan dia bilang dia sering cek," urainya.

"Gue ada pemikiran kok dia nggak pakai kondom, cuma gue percaya sama dia karena dia bilang kerja di LSM HIV/AIDS. Agak seram juga sih, tapi kalau udah high gimana dong," ujarnya.

Banyaknya praktik hubungan intim tak aman di kalangan gay terungkap dalam Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP)  Kelompok Lelaki Seks Lelaki (LSL) yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan mitra pada tahun 2011.

Kelompok LSL mencakup kalangan gay. Gay dan LSL sendiri berbeda. Gay adalah kelompok lelaki yang sudah menerima identitasnya sebagai penyuka sesama jenis. Kelompok LSL tidak selalu gay, tetapi bisa berhubungan dengan sesama jenis, misalnya untuk motif uang.

Berdasarkan survei tersebut, diketahui bahwa persentase hubungan seks anal pada gay, baik insertif (melakukan penetrasi) maupun reseptif (mengalami penetrasi), cukup tinggi.

Dari survei di Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, dan Malang, persentase hubungan seksual reseptif terendah adalah di Bandung (66 persen) dan tertinggi di Malang (94 persen). Untuk hubungan seks anal insertif, persentase terendah ada di Bandung (71 persen) dan tertinggi di Semarang (99 persen).

Yang memprihatinkan, dengan tingginya persentase hubungan seks anal, jumlah pemakaian kondom masih rendah.

Secara umum, pemakaian kondom di kalangan LSL pada hubungan seks anal reseptif hanya 21 persen, sementara pada hubungan seks anal secara insertif sebesar 23 persen.

Kurang dari sepertiga LSL yang konsisten menggunakan kondom pada setiap tipe pasangan seksualnya.

Pengetahuan kalangan LSL tentang HIV/AIDS secara komprehensif juga masih rendah. Dalam survei itu, hanya 26 persen LSL yang punya pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS.

Dengan rendahnya pengetahuan komprehensif, berarti masih banyak LSL tidak mengetahui bagaimana cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, tidak memahami bahwa ODHA tidak bisa dibedakan dengan yang lain dan bahwa serangga tak menularkan HIV.

Di sisi lain, survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan per September 2013 menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di kalangan gay meningkat.

"Untuk golongan LSL sekarang mencapai 9,7 persen dari total penderita HIV/AIDS," kata Samsuridjal Djauzi, Direktur Kelompok Pendidikan Khusus (Pokdiksus) HIV/AIDS Rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Jumlah itu memang masih tergolong kecil dibandingkan kalangan heteroseksual yang lebih dari 40 persen. "Tetapi, peningkatan dari kalangan LSL dan ibu rumah tangga adalah yang paling tinggi," ujar Samsuridjal.

Data RSCM, pada tahun 2007, persentase penderita HIV/AIDS dari kalangan LSL dibandingkan dengan penderita laki-laki secara umum hanya 6 persen. Namun, kini jumlahnya mencapai 27 persen dari total laki-laki.

Samsuridjal mengatakan, bila pendekatan intensif tak dilakukan pada LSL, jumlah penderita dipastikan akan terus meningkat.

Rendahnya wawasan kesehatan dengan infeksi HIV/AIDS memang berhubungan. Namun, bagaimana dengan keterhubungan gay lewat teknologi informasi? Apakah peningkatan populasi gay dengan HIV/AIDS berhubungan secara langsung dengan semakin perkembangan teknologi informasi?

Sjamsuridjal meragukannya. "Ini adalah kasus lama yang terungkap Di samping itu, dari statistik di Pokdiksus,termasuk LSL, sebagian besar penderita yang datang sudah punya CD4 di bawah 200 (berarti sudah AIDS)," ungkapnya.

G Harry Prabowo, National Program Manager Gay, Waria, Lelaki Seks Lelaki Indonesia (GWL-INA), juga mengatakan, "Sulit untuk mengatakannya. Harus ada scientific evidence-nya dulu."

Meski demikian, ia mengakui memang gay lebih rentan.

Hal yang sama juga dikatakan Eny Yunihastuti, Koordinator Pelayanan Medik dari Kelompok Studi Khusus (Pokdiksus) HIV/AIDS di RSCM.

"Kalau teknologi informasi menempatkan LSL pada posisi yang semakin rentan terinfeksi HIV/AIDS dengan pengetahuan yang rendah, hal itu betul. Tapi, yang perlu dicatat juga, ini tidak hanya terjadi pada kalangan LSL saja, tetapi semua," katanya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com