Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Intim Gay, Android, dan HIV

Kompas.com - 01/12/2013, 13:26 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

Pendekatan dan toleransi

Bila ternyata teknologi informasi membuat gay semakin rentan, haruskah aksesnya distop, misalnya dengan memblokir sejumlah situs jejaring sosial ataupun aplikasi bila mungkin?

Harry mengatakan, "Teknologi informasi itu tidak bisa dibendung. Mau kita blok web atau aplikasinya? Akhirnya ada yang lain. Jadi, tetap tidak bisa, tidak ada gunanya," cetusnya.

Pendekatan pada kalangan gay untuk meningkatkan wawasan kesehatan terkait HIV/AIDS sebenarnya telah dilakukan.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama menjelaskan, kementeriannya telah menjalin kerja sama dengan berbagai kalangan untuk menjangkau kalangan LSL.

Kemenkes bekerja sama dengan Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk menjangkau LSL. Dengan GWL-INA, Kemenkes membentuk komunitas GWL Muda yang fokus pada kalangan LSL 15–24 tahun.

"Bahkan, saat ini melalui dukungan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dan para mitra, ada penguatan program untuk LSL ini dengan adanya petugas lapangan dan koordinator di masing-masing provinsi untuk menjangkau komunitas LSL," jelasnya.

Namun demikian, pendekatan yang dilakukan dirasakan beberapa gay kurang efektif.

"Penyadaran itu sasarannya orang-orang seperti waria atau mereka yang pekerja seks. Tapi, bagaimana dengan kita yang sehari-hari cuma nongkrong, di kantor, di kamar, orang-orang biasa, tidak tersentuh," ungkap Mika.

Boy, seorang gay asal Jakarta yang baru coming out, menuturkan bahwa pendekatan yang dilakukan selama ini tidak efektif.

"Kalau judulnya sudah penyuluhan itu biasanya sudah ada penolakan terlebih dahulu," katanya.

Harry mengakuinya.

"Memang selama ini masih terbatas. Yang sudah kita jangkau selama ini memang baru yang ada di hotspot," ungkapnya.

Harry menuturkan, teknologi informasi sebenarnya bisa menjadi senjata dalam mengampanyekan kesadaran tentang HIV/AIDS.

"Karena sekarang eranya teknologi informasi, maka pendekatan seharusnya juga harus in line dengan teknologi informasi.”

Untuk ini, sudah ada jejaring sosial milik Kementerian Kesehatan dan sejumlah LSM, situs web terkait HIV/AIDS, bahkan aplikasi yang menyuguhkan informasi tentang HIV/AIDS.

Namun, pendekatan lewat teknologi informasi menyisakan tantangan.

"Sulit bagi kita kalau harus menyaingi Grindr," ungkap Harry.

Akun Facebook, Twitter, forum dan situs web yang mengampanyekan tentang HIV/AIDS bertebaran namun sedikit dibuka, diikuti, apalagi dibaca.

Lebih lanjut, Harry mengungkapkan, Indonesia minim figur publik seperti artis serta seorang spesialis dalam bidang komunikasi yang dapat mendukung program penyadaran lewat teknologi informasi.

"Mereka yang ada di advertising, media sosial, yang bahkan ada yang gay, kurang peduli dengan HIV/AIDS. Sulit mengajak untuk berkarya dengan tujuan sosial," jelasnya.

Di samping pendekatan langsung pada gay, perlu juga menghilangkan hambatan lingkungan.

"Selama ini, gay berhadapan dengan stigma. Mengapa gay tidak mau tes HIV karena takut akan dua stigma, bahwa dia HIV dan juga gay," kata Harry.

Karena itu, perlu dikembangkan toleransi terhadap kaum gay. Kaum gay tidak bisa dianggap sebagai orang menyimpang, berdosa, dan pantas menderita HIV.

Samsuridjal mengatakan, toleransi pada gay mulai dikembangkan. Di RSCM, kini ada Male Sex Male (MSM) Service.

"Agar gay tidak canggung lagi untuk tes, kita kembangkan layanan yang ramah pada LSL," katanya.

Lebih luas, Alan, Koordinator Program Kaum Muda GWL-INA, menjelaskan perlunya pendidikan seksual yang komprehensif, termasuk mengenalkan jender dan seksualitas di kalangan remaja.

"Ini sangat bermanfaat bagi kaum muda. Selama ini gay biasanya mengakses informasi dari web atau buku, tapi itu menyatakan bahwa gay itu dosa. Akibatnya, mereka self stigma, tidak mau berkumpul dengan komunitas, tidak punya informasi, akhirnya malah terjerumus pada perilaku berisiko," jelasnya.

Tapi, kata Alan, tidak mudah untuk memasukkan isu seksualitas di sekolah walaupun bisa dikaitkan dengan pelajaran seperti Biologi.

Di tengah semua tantangan, toh masih ada kampanye kecil yang bisa dilakukan oleh kalangan gay sendiri. Setelah bertanya "Kamu top atau bottom" dan setuju untuk berkencan, ketiklah, misalnya, "No bareback ya..." Artinya, hubungan intim dilakukan dengan kondom.

Catatan :

Homoseksualitas masih menjadi isu sensitif di Indonesia. Gay berpotensi mendapatkan diskriminasi di lingkungan rumah hingga tempat kerja. Kompas.com memutuskan untuk menyamarkan nama semua narasumber gay dalam tulisan ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com