Kisah Intim Gay, Android, dan HIV

Kompas.com - 01/12/2013, 13:26 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis


KOMPAS.com — "Kamu top atau bottom?"

Itulah kalimat yang biasa disampaikan seorang gay kepada gay lainnya. Kini pertanyaan itu terketik pada jendela aplikasi chatting di smartphone.

Top menunjukkan gay yang berperan sebagai laki-laki dalam hubungan intim, sementara bottom merujuk pada gay yang dalam hubungan itu lebih berperan sebagai perempuan.

Diam-diam, luput dari perhatian publik, teknologi informasi telah menjadi bagian dari keseharian kehidupan gay di Indonesia.

Salah satu momentumnya adalah hadirnya gadget berbasis Android dengan harga terjangkau. Gay bisa mengunduh beragam aplikasi chatting yang memungkinkan satu sama lain terhubung, membina pertemanan maupun menjalin cinta, baik cuma semalam maupun yang berkelanjutan.

Aplikasi chatting populer di kalangan gay Indonesia antara lain Grindr dan JackD. Dalam peringkat yang disusun App Annie, per 28 November 2013, Grindr juga termasuk 100 besar aplikasi yang paling banyak diunduh oleh orang Indonesia di Google Play Store. Grindr dan JackD tidak hanya bisa dijalankan di Android, tetapi sejumlah gay juga mengakui bahwa penggunanya baru meroket setelah tren gadget Android. 

Grindr dan JackD menyasar gay secara umum. Ada pula aplikasi chatting yang secara khusus menyasar gay penyuka pria gempal dan berbulu, bernama Scruff.

Anjas adalah salah satu pengguna Grindr.

"Aku pakai sejak semester lima," kata pria jangkung yang terdaftar di salah satu universitas unggulan di Jakarta ini. Sekarang, Anjas sudah masuk semester 11.

Ia mengetahui Grindr dari internet. Begitu tahu ada aplikasi itu, Anjas langsung mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membeli gadget dengan sistem operasi Android.

"Emang sengaja beli Android biar bisa pakai aplikasi itu," ujarnya saat ditemui Kompas.com di sebuah kedai kopi di Plaza Semanggi, Jakarta, Selasa (26/11/2013).

Sementara itu, Iqbal, mahasiswa teknik di salah satu universitas ternama di Yogyakarta, memakai JackD.

"Baru sebulan pakai," cetus Iqbal.

Iqbal sendiri mengetahui adanya aplikasi tersebut dari teman sesama gay di kampusnya.
Dengan JackD, Iqbal bisa chatting di mana saja. Ia bisa mengaktifkan aplikasi itu, mulai dari kamar kos hingga kampusnya.

Aplikasi-aplikasi untuk kebutuhan khusus komunitas gay itu  punya fitur "ajaib". Aplikasi yang berbasis lokasi ini berfungsi seperti radar gay.

Cukup mengunduh dan mendaftar, pengguna bisa melihat profil-profil gay, mulai dari yang tinggal di radius kurang dari 1 km, bahkan mungkin satu tempat kos, hingga yang berada nun jauh di seberang lautan.

Gay yang menggunakannya bisa menyaring profil yang akan dilihat. Misalnya, penyuka brondong alias remaja gay, bisa memilih kategori "Twink" saja.

Di JackD, gay juga bisa meminta aplikasi untuk "menjodohkan". Lewat fitur Match Finder, JackD akan menawarkan beberapa profil pengguna lain. Bila setelah melihat profil seorang pengguna menyukai, dia tinggal tekan "Interested". Bila pengguna lain yang disukai juga menekan tombol yang sama, berjodohlah keduanya.

Dengan JackD dan Grindr, bukan tak mungkin seorang gay dari luar negeri secara khusus datang untuk bertemu orang yang disukainya di Indonesia.

Kelahiran JackD mencerminkan betapa perkembangan teknologi memengaruhi kalangan gay, mulai dari personal computer (PC), internet, piranti mobile seperti smartphone hingga sistem operasi.

Dahulu, para gay Jakarta, misalnya, harus berkumpul langsung di Lapangan Banteng atau diskotik. Alternatif lain, perkenalan antar-gay harus dilakukan lewat majalah seperti Gaya Nusantara yang dipelopori aktivis gay kawakan, Dede Oetomo.

Seiring masuknya internet, mulai tersedia aplikasi chatting di PC bernama mIRC. Ada salah satu channel yang khusus digunakan bagi gay Indonesia untuk berinteraksi.

Media sosial, seperti Friendster, Facebook, dan Twitter kemudian muncul. Selain media sosial mainstream, media sosial khusus gay juga mulai bermunculan dan digunakan. Salah satunya adalah Manjam, situs yang kini diblokir oleh pemerintah.

Media sosial menjadi salah satu momentum penting karena memudahkan gay melihat profil gay lain secara lebih rinci dan berbagi foto.

Lazimnya para gay saat chatting bertanya, "pic-mu mana?". Jawabannya adalah link media sosial yang dimiliki seorang gay.

Pada akhirnya, muncul smartphone dan tablet yang menjadi alternatif sekaligus menjawab keterbatasan PC yang sulit untuk mobile.

Smartphone ibarat kantong yang bisa menampung semua aplikasi. Facebook, Twitter, JackD, Grindr, Whatsapp, dan ragam aplikasi yang memungkinkan satu gay dengan yang lain terhubung, berada dalam satu genggaman, mudah dibawa ke mana saja dan kapan saja.

Teknologi informasi menghubungkan siapa saja tanpa batas wilayah, jender, ras, dan apa pun. Hal itu juga berlaku di kalangan gay.

"Barrier antar-gay semakin tipis," kata Mika, gay asal Jakarta yang juga bekerja di sebuah perusahaan teknologi informasi.

Rentan

Ada banyak motivasi ketika mengunduh aplikasi tersebut.

Abi, mahasiswa lain di Yogyakarta, mengatakan, "Kalau saya cuma mau cari teman. Soalnya orang kayak kita kadang merasa sendiri."

Tujuan yang sama juga dimiliki Deni, seorang karyawan swasta di Jakarta. "Cari teman aja. Kadang sengaja saya online di kantor biar tahu ada gay yang satu kantor atau tidak," ucapnya.

Namun, sejumlah gay mengakui, motivasi yang paling umum adalah mencari pasangan untuk berhubungan intim.

"Ya pasti cari pasanganlah ya, seks, apa lagi?" cetus Anjas.

Ardi, pekerja freelance di Jakarta, juga mengakuinya. "Pasti kebanyakan cari seks, yang bilang nggak tuh cuma munafik," ujarnya tegas.

Dari Grindr, Anjas menemukan beberapa pasangan one night stand. Bila menyukai, ia akan melakukan hubungan intim bersama orang yang sama untuk kali kedua dan seterusnya.

Iqbal, meski baru sebulan memakai, sudah mendapatkan banyak pasangan seksual dari aplikasi JackD.

"Kalau sudah kebelet, ya random aja," katanya.

Sapa-menyapa dengan kata "Hai", "Stay di mana?", "Top or bottom", "Mau fun nggak?" efektif guna mendapatkan pasangan untuk berhubungan intim secara instan.

Dalam praktik seks dengan pasangan random, hubungan intim yang tak aman kerap terjadi.

Anjas pernah mengalaminya. Dalam salah satu hubungan seksualnya, ia lupa memastikan bahwa pasangan hubungan intimnya memakai kondom.

"Waktu itu sampai penetrasi. Dia top-nya. Pas ejakulasi, gue baru nanya kenapa enggak pakai pengaman. Gue tanya. Dia bilang udah enggak tahan lagi dan dia bilang dia sering cek," urainya.

"Gue ada pemikiran kok dia nggak pakai kondom, cuma gue percaya sama dia karena dia bilang kerja di LSM HIV/AIDS. Agak seram juga sih, tapi kalau udah high gimana dong," ujarnya.

Banyaknya praktik hubungan intim tak aman di kalangan gay terungkap dalam Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP)  Kelompok Lelaki Seks Lelaki (LSL) yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan mitra pada tahun 2011.

Kelompok LSL mencakup kalangan gay. Gay dan LSL sendiri berbeda. Gay adalah kelompok lelaki yang sudah menerima identitasnya sebagai penyuka sesama jenis. Kelompok LSL tidak selalu gay, tetapi bisa berhubungan dengan sesama jenis, misalnya untuk motif uang.

Berdasarkan survei tersebut, diketahui bahwa persentase hubungan seks anal pada gay, baik insertif (melakukan penetrasi) maupun reseptif (mengalami penetrasi), cukup tinggi.

Dari survei di Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, dan Malang, persentase hubungan seksual reseptif terendah adalah di Bandung (66 persen) dan tertinggi di Malang (94 persen). Untuk hubungan seks anal insertif, persentase terendah ada di Bandung (71 persen) dan tertinggi di Semarang (99 persen).

Yang memprihatinkan, dengan tingginya persentase hubungan seks anal, jumlah pemakaian kondom masih rendah.

Secara umum, pemakaian kondom di kalangan LSL pada hubungan seks anal reseptif hanya 21 persen, sementara pada hubungan seks anal secara insertif sebesar 23 persen.

Kurang dari sepertiga LSL yang konsisten menggunakan kondom pada setiap tipe pasangan seksualnya.

Pengetahuan kalangan LSL tentang HIV/AIDS secara komprehensif juga masih rendah. Dalam survei itu, hanya 26 persen LSL yang punya pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS.

Dengan rendahnya pengetahuan komprehensif, berarti masih banyak LSL tidak mengetahui bagaimana cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, tidak memahami bahwa ODHA tidak bisa dibedakan dengan yang lain dan bahwa serangga tak menularkan HIV.

Di sisi lain, survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan per September 2013 menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di kalangan gay meningkat.

"Untuk golongan LSL sekarang mencapai 9,7 persen dari total penderita HIV/AIDS," kata Samsuridjal Djauzi, Direktur Kelompok Pendidikan Khusus (Pokdiksus) HIV/AIDS Rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Jumlah itu memang masih tergolong kecil dibandingkan kalangan heteroseksual yang lebih dari 40 persen. "Tetapi, peningkatan dari kalangan LSL dan ibu rumah tangga adalah yang paling tinggi," ujar Samsuridjal.

Data RSCM, pada tahun 2007, persentase penderita HIV/AIDS dari kalangan LSL dibandingkan dengan penderita laki-laki secara umum hanya 6 persen. Namun, kini jumlahnya mencapai 27 persen dari total laki-laki.

Samsuridjal mengatakan, bila pendekatan intensif tak dilakukan pada LSL, jumlah penderita dipastikan akan terus meningkat.

Rendahnya wawasan kesehatan dengan infeksi HIV/AIDS memang berhubungan. Namun, bagaimana dengan keterhubungan gay lewat teknologi informasi? Apakah peningkatan populasi gay dengan HIV/AIDS berhubungan secara langsung dengan semakin perkembangan teknologi informasi?

Sjamsuridjal meragukannya. "Ini adalah kasus lama yang terungkap Di samping itu, dari statistik di Pokdiksus,termasuk LSL, sebagian besar penderita yang datang sudah punya CD4 di bawah 200 (berarti sudah AIDS)," ungkapnya.

G Harry Prabowo, National Program Manager Gay, Waria, Lelaki Seks Lelaki Indonesia (GWL-INA), juga mengatakan, "Sulit untuk mengatakannya. Harus ada scientific evidence-nya dulu."

Meski demikian, ia mengakui memang gay lebih rentan.

Hal yang sama juga dikatakan Eny Yunihastuti, Koordinator Pelayanan Medik dari Kelompok Studi Khusus (Pokdiksus) HIV/AIDS di RSCM.

"Kalau teknologi informasi menempatkan LSL pada posisi yang semakin rentan terinfeksi HIV/AIDS dengan pengetahuan yang rendah, hal itu betul. Tapi, yang perlu dicatat juga, ini tidak hanya terjadi pada kalangan LSL saja, tetapi semua," katanya.

Pendekatan dan toleransi

Bila ternyata teknologi informasi membuat gay semakin rentan, haruskah aksesnya distop, misalnya dengan memblokir sejumlah situs jejaring sosial ataupun aplikasi bila mungkin?

Harry mengatakan, "Teknologi informasi itu tidak bisa dibendung. Mau kita blok web atau aplikasinya? Akhirnya ada yang lain. Jadi, tetap tidak bisa, tidak ada gunanya," cetusnya.

Pendekatan pada kalangan gay untuk meningkatkan wawasan kesehatan terkait HIV/AIDS sebenarnya telah dilakukan.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama menjelaskan, kementeriannya telah menjalin kerja sama dengan berbagai kalangan untuk menjangkau kalangan LSL.

Kemenkes bekerja sama dengan Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk menjangkau LSL. Dengan GWL-INA, Kemenkes membentuk komunitas GWL Muda yang fokus pada kalangan LSL 15–24 tahun.

"Bahkan, saat ini melalui dukungan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dan para mitra, ada penguatan program untuk LSL ini dengan adanya petugas lapangan dan koordinator di masing-masing provinsi untuk menjangkau komunitas LSL," jelasnya.

Namun demikian, pendekatan yang dilakukan dirasakan beberapa gay kurang efektif.

"Penyadaran itu sasarannya orang-orang seperti waria atau mereka yang pekerja seks. Tapi, bagaimana dengan kita yang sehari-hari cuma nongkrong, di kantor, di kamar, orang-orang biasa, tidak tersentuh," ungkap Mika.

Boy, seorang gay asal Jakarta yang baru coming out, menuturkan bahwa pendekatan yang dilakukan selama ini tidak efektif.

"Kalau judulnya sudah penyuluhan itu biasanya sudah ada penolakan terlebih dahulu," katanya.

Harry mengakuinya.

"Memang selama ini masih terbatas. Yang sudah kita jangkau selama ini memang baru yang ada di hotspot," ungkapnya.

Harry menuturkan, teknologi informasi sebenarnya bisa menjadi senjata dalam mengampanyekan kesadaran tentang HIV/AIDS.

"Karena sekarang eranya teknologi informasi, maka pendekatan seharusnya juga harus in line dengan teknologi informasi.”

Untuk ini, sudah ada jejaring sosial milik Kementerian Kesehatan dan sejumlah LSM, situs web terkait HIV/AIDS, bahkan aplikasi yang menyuguhkan informasi tentang HIV/AIDS.

Namun, pendekatan lewat teknologi informasi menyisakan tantangan.

"Sulit bagi kita kalau harus menyaingi Grindr," ungkap Harry.

Akun Facebook, Twitter, forum dan situs web yang mengampanyekan tentang HIV/AIDS bertebaran namun sedikit dibuka, diikuti, apalagi dibaca.

Lebih lanjut, Harry mengungkapkan, Indonesia minim figur publik seperti artis serta seorang spesialis dalam bidang komunikasi yang dapat mendukung program penyadaran lewat teknologi informasi.

"Mereka yang ada di advertising, media sosial, yang bahkan ada yang gay, kurang peduli dengan HIV/AIDS. Sulit mengajak untuk berkarya dengan tujuan sosial," jelasnya.

Di samping pendekatan langsung pada gay, perlu juga menghilangkan hambatan lingkungan.

"Selama ini, gay berhadapan dengan stigma. Mengapa gay tidak mau tes HIV karena takut akan dua stigma, bahwa dia HIV dan juga gay," kata Harry.

Karena itu, perlu dikembangkan toleransi terhadap kaum gay. Kaum gay tidak bisa dianggap sebagai orang menyimpang, berdosa, dan pantas menderita HIV.

Samsuridjal mengatakan, toleransi pada gay mulai dikembangkan. Di RSCM, kini ada Male Sex Male (MSM) Service.

"Agar gay tidak canggung lagi untuk tes, kita kembangkan layanan yang ramah pada LSL," katanya.

Lebih luas, Alan, Koordinator Program Kaum Muda GWL-INA, menjelaskan perlunya pendidikan seksual yang komprehensif, termasuk mengenalkan jender dan seksualitas di kalangan remaja.

"Ini sangat bermanfaat bagi kaum muda. Selama ini gay biasanya mengakses informasi dari web atau buku, tapi itu menyatakan bahwa gay itu dosa. Akibatnya, mereka self stigma, tidak mau berkumpul dengan komunitas, tidak punya informasi, akhirnya malah terjerumus pada perilaku berisiko," jelasnya.

Tapi, kata Alan, tidak mudah untuk memasukkan isu seksualitas di sekolah walaupun bisa dikaitkan dengan pelajaran seperti Biologi.

Di tengah semua tantangan, toh masih ada kampanye kecil yang bisa dilakukan oleh kalangan gay sendiri. Setelah bertanya "Kamu top atau bottom" dan setuju untuk berkencan, ketiklah, misalnya, "No bareback ya..." Artinya, hubungan intim dilakukan dengan kondom.

Catatan :

Homoseksualitas masih menjadi isu sensitif di Indonesia. Gay berpotensi mendapatkan diskriminasi di lingkungan rumah hingga tempat kerja. Kompas.com memutuskan untuk menyamarkan nama semua narasumber gay dalam tulisan ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau