Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ulasan Ramadhan: Saat Rukyat (Lagi-lagi) Ditolak

Kompas.com - 17/07/2013, 09:32 WIB

Di sisi lain, pandangan ke cakrawala barat pun bersirobok dengan lokasi Bandara Soekarno-Hatta dengan lalu lintas pesawat yang sibuk sehingga potensi gangguan sumber cahaya artifisial pun bertambah. Karena itu, meski secara tradisional berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU), Lajnah Falakiyyah PBNU sebagai organ tertinggi yang membidangi masalah hisab dan rukyat, ormas tersebut menyatakan sudah tak lagi mengacu laporan rukyat Cakung terutama dalam satu dasawarsa terakhir.

Cakung menjadi problem yang lebih pelik karena kesaksiannya telah diambil sumpah oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur. Problem berlanjut terkait bagaimana sumpah itu diperlakukan.

Bagi sebagian kalangan di masyarakat, pengambilan sumpah tersebut menandakan kesaksian Cakung adalah sahih dan wajib diterapkan. Namun, merujuk praktik di zaman khalifah empat (Khulafaur Rasyidin), ternyata pernah terjadi penolakan kesaksian meski saksi telah bersumpah. Ini dilakukan khalifah Utsman bin ‘Affan, yang menolak persaksian rukyat Hasyim bin Utbah, meski yang bersangkutan sudah bersumpah, sebagaimana diriwayatkan oleh ath-Thabary. Ini menjadi yurisprudensi syar’i untuk menyatakan bahwa kesaksian rukyat dapat ditolak meski telah disumpah, atas dasar kurangnya kompetensi, tempat yang tidak layak, ataupun faktor-faktor lainnya.

Maka dari itu, alasan sidang isbat menolak laporan Cakung, yang antara lain dilandasi oleh faktor kompetensi dan ketidaklayakan tempat rukyat, pun memiliki fundamen tersendiri.

KOMPAS/PRIYOMBODO Dengan mata telanjang, warga ikut memantau hilal dari puncak Masjid Al Mabrur, Nambangan, Kenjeran, Surabaya.
Legault

Selain persoalan Cakung, pada saat yang sama juga beredar kabar mengenai keberhasilan Legault mengabadikan sabit Bulan tepat pada saat konjungsi dalam selembar foto. Analisis memperlihatkan foto tersebut sejatinya bukan foto "langsung", melainkan gabungan dari 500 foto digital yang diambil dalam spektrum cahaya merah atau mendekati inframerah dan kemudian dijadikan satu lewat proses panjang.

Dalam kondisi normal, lengkungan sabit Bulan takkan tampak, mengingat cahaya langit 400 kali lebih benderang dari cahaya Bulan pada spektrum inframerah, bahkan pada spektrum cahaya tampak adalah 1.000 kali lipat lebih benderang.

Di sisi lain, sukses Legault kali ini ternyata tetap berada dalam koridor kenampakan sabit Bulan siang hari seperti yang telah dipahami semenjak 2007 hingga sekarang. Meski difoto tepat saat konjungsi, saat itu tinggi Bulan ternyata mencapai 26 derajat dari cakrawala atau lebih tinggi dari nilai batas 20 derajat.

Saat itu, Bulan memiliki elongasi (jarak sudut) terhadap Matahari sebesar 5 derajat. Jika angka ini diekstrapolasikan secara langsung (instan) ke dalam situasi tatkala Matahari terbenam dengan mengabaikan faktor-faktor lain, maka yang terjadi adalah beda tinggi Bulan-Matahari saat itu sebesar 5 derajat. Ini setara dengan umur Bulan 10 jam dan lag Bulan +20 menit.

Dengan lag Bulan di Indonesia adalah antara -3,3 dan +3,4 menit, maka sukses Legault justru memberikan justifikasi tambahan bahwa pada saat Matahari terbenam, 8 Juli 2013 lalu, Bulan memang belum menyandang status hilal.

* Muh Ma'rufin Sudibyo, Koordinator Riset Jejaring Rukyatul Hilal Indonesia & Ketua Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com