KOMPAS.com - Perbedaan dalam menetapkan awal bulan kalender Hijriah yang selalu berulang kembali terjadi pada tahun ini. Hal ini membuat satu pertanyaan klasik kembali terungkap, yakni, apakah tak bisa para pihak terkait mencari titik temu untuk mendapatkan kesatuan dalam berkalender Hijriah dan beribadah, setidaknya di Indonesia? Sebab, terlepas dari mazhab maupun ormas yang diikutinya, adanya persatuan dalam berkalender senantiasa menjadi dambaan dalam hati sanubari setiap umat.
Jika berbagai aspek peribadahan lainnya yang juga sarat dengan nuansa perbedaan (khilafiyah) antar mazhab seperti ekonomi syariah, kompilasi hukum Islam untuk pernikahan dan hak waris, produk halal serta penyembelihan halal saja dapat dicapai titik temunya, mengapa untuk persoalan kalender tidak bisa?
Di sisi lain, secara sosiologis, perbedaan itu menimbulkan perasaan yang tak nyaman. Tak enak rasanya kita masih makan dan minum, sementara tetangga atau saudara sudah mulai berpuasa Ramadhan. Demikian halnya saat kita masih berpuasa sementara tetangga telah berhari raya.
Upaya persatuan sebenarnya sudah digulirkan, misalnya lewat Kementerian Agama, dengan mencoba menampung segenap pendapat misalnya melalui forum temu kerja hisab rukyat, musyawarah nasional hisab rukyat, sidang hisab rukyat, lokakarya dan sejenisnya. Beberapa rekomendasi pun sudah ditelurkan. Salah satunya, membentuk tim kerja penyatuan kalender Hijriah di Indonesia, melakukan kajian rukyat hilal, melakukan kajian literatur terkait, menyusun naskah akademik untuk penyatuan kalender Hijriah dan mengusulkan penyelenggaraan Muktamar Kalender Hijriah Indonesia yang mempertemukan segenap elit pimpinan ormas sebagai pengambil keputusan di organisasinya masing-masing.
Untuk memberikan kedudukan hukum yang lebih kuat, juga pernah bergaung usulan untuk membentuk rancangan undang-undang terkait kalender Hijriyyah dan aspek-aspek ilmu falak di Indonesia. Namun belum satupun rekomendasi ini yang terlaksana.
Busur sabit bulan
Langkah penyatuan kalender dalam hemat Thomas Djamaluddin, salah satu cendekiawan Indonesia, bisa dilakukan sepanjang terdapat kriteria yang berterima bagi segenap pihak, ada wilayah keberlakuan dan ada otoritas sebagai pemegang kunci.
Meski bersifat sementara dan kelak bisa saja digantikan oleh kriteria lain, “kriteria” imkan rukyat revisi tak lepas dari kritik ilmiah terkait validitasnya. “Kriteria” ini didasarkan pada laporan terlihatnya hilaal pada 29 Juni 1984 yang menjadi dasar penetapan Idul Fitri 1404 H. Saat itu, hilal dilaporkan terlihat dari tiga lokasi berbeda, yakni Cakung (Jakarta), Parangtritis (DIY) dan Pare Pare (Sulawesi Selatan). Namun di sebelah kirinya, berjarak hanya 2,5 derajat, terdapat Venus.
Analisis fotometri menunjukkan meski diameter nampak (apparent) Bulan 185 kali lebih besar dari Venus, namun intensitas cahaya dari Venus yang tiba di muka Bumi 12 kali lipat lebih besar dibanding Bulan. Konsekuensinya kontras Venus lebih besar dibanding langit barat yang bergelimang cahaya senja, sementara kontras Bulan justru jauh lebih kecil. Maka Venus jauh lebih benderang dibanding Bulan sehingga apa yang dilihat pada saat itu merupakan Venus.
Dalam fotometri terdapat aturan sederhana, sebuah obyek apapun akan terlihat jika nilai kontrasnya lebih besar dibanding kontras latar belakangnya. Ini seperti menyorotkan seberkas cahaya kuning dari lampu senter ke dinding putih yang telah diterangi lampu neon. Seberapapun besarnya senter yang kita gunakan, bilamana intensitas cahayanya di tembok masih lebih kecil dari intensitas cahaya lampu neon, maka lampu senter itu takkan terlihat.
Di sisi lain, wujudul hilal pun tak lepas dari kritik ilmiah serupa. Sebagian berargumen tentang adanya data-data observasi terkini yang telah berhasil mengidentifikasi busur sabit Bulan di siang hari (sebelum Matahari terbenam) pasca konjungsi. Bahwa busur sabit Bulan telah terlihat di siang hari merupakan fakta ilmiah.
Namun, observasi yang dilakukan ICOP (International Crescent Observation Project) dan lembaga lainnya, termasuk di Indonesia oleh Observatorium Bosscha, menunjukkan busur sabit Bulan hanya bisa teramati di siang hari jika sejumlah syarat terpenuhi. Yakni tinggi Bulan harus melebihi 20 derajat dari cakrawala dengan elongasi Bulan-Matahari minimal 8,5 derajat jika hendak diamati dengan teleskop dengan lensa/cermin obyektif berdiameter 35 cm. Jika tinggi Bulan lebih rendah dari 20 derajat, busur sabit Bulan tak pernah bisa diamati.
Sementara, jika menggunakan mata saja (tanpa bantuan teleskop), busur sabit Bulan bisa terlihat jika elongasi Bulan-Matahari minimal 20 derajat.