Oleh M ZAID WAHYUDI
KOMPAS.com - Jatuhnya meteorit atau tertabraknya Bumi oleh asteroid dan komet adalah sebuah keniscayaan. Tapi, kapan hal itu terjadi, tak banyak diketahui manusia. Sejumlah cara dikembangkan para ahli untuk memantau gerak batuan antariksa di sekitar Bumi, juga teknik menangkal saat akan mendekati Bumi.
Musnahnya dinosaurus 65 juta tahun lalu atau terbakarnya hutan seluas Jakarta di Tunguska, Siberia, Rusia, tahun 1908 adalah bukti keganasan batuan antariksa saat menghantam Bumi. Seiring bertambahnya jumlah manusia dan masifnya pertumbuhan kota, ancaman jatuhnya benda-benda langit kian nyata.
”Jatuhnya meteor di Chelyabinsk, Rusia, Jumat (15/2/2013), dan melintasnya asteroid 2012 DA14, Sabtu (16/2/2013), mengingatkan manusia bahwa ribuan obyek seperti itu melintasi di dekat Bumi tiap hari,” kata Ray Williamson, penasihat senior Yayasan Dunia Aman (Secure World Foundation) di sela pertemuan Komite Badan PBB untuk Pemanfaatan Damai Antariksa (Copuos) di Vienna, Austria, seperti dikutip space.com, Minggu (17/2/2013).
Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) melalui program Widefield Infrared Survey Explorer pada 2011 memperkirakan ada 19.500 asteroid berukuran menengah di dekat Bumi. Asteroid itu berdiameter antara 100 meter dan 1.000 meter.
Sekitar 90 persen asteroid berukuran lebih dari 1.000 meter sudah ditemukan. Adapun yang berdiameter puluhan meter, seperti asteroid 2012 DA14 dan yang jatuh di Tunguska, baru 2 persen yang diketahui. Asteroid berdiameter kurang dari 100 meter diperkirakan berjumlah lebih dari 1 juta buah.
”Makin kecil ukurannya, makin banyak jumlahnya, makin sedikit yang sudah diketahui,” ujar Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin.
Masih rendahnya pengetahuan manusia tentang asteroid membuat sejumlah program dan wahana antariksa untuk memantau terus dibuat. Salah satunya adalah teleskop antariksa Sentinel yang dikembangkan lembaga swasta yang dikelola sejumlah mantan antariksawan, Yayasan B612.
Rencana pembuatan teleskop inframerah ini diumumkan 28 Juni 2012. Misi utamanya adalah menemukan 90 persen asteroid berukuran lebih dari 140 meter. Teleskop ini seharusnya juga mampu mendeteksi asteroid lebih kecil dalam misinya selama 6,5 tahun.
Ada pula OSIRIS-REx, wahana yang akan diluncurkan tahun 2016. Wahana ini akan mencegat asteroid RQ36 pada 2020 untuk mengambil sampel batuannya dan mempelajari lebih detail karakter orbitnya. Asteroid ini diperkirakan menabrak Bumi 170 tahun mendatang.
Menendang asteroid
Sesudah mendeteksi keberadaan asteroid, langkah selanjutnya adalah menangkis asteroid yang berpotensi membahayakan Bumi. Para ahli sepakat, langkah terbaik menghindarkan Bumi ditabrak asteroid adalah membelokkan lintasan asteroid.
Teknik membelokkan lintasan asteroid beragam. Sejumlah kemungkinan dikaji mengingat obyek yang disasar adalah batuan yang bergerak cepat mengelilingi Matahari dan berotasi.
Asisten Profesor Fisika dan Astronomi di Universitas Anderson, Indiana, AS, John P Millis dalam tulisan di situs space.about.com menyatakan, teknik sederhana yang diusulkan antara lain mengebom asteroid itu dengan nuklir dari Bumi. Ledakan yang ditimbulkan akan menggeser asteroid dari lintasannya.
Robert Lamb, penulis sains di howstuffworks.com menyatakan, pengeboman bukan untuk menghancurkan asteroid, melainkan mengurai sebagian badan asteroid. Berat yang makin ringan akan mengubah jalur asteroid.