Mengintai dan Menangkis Asteroid

Kompas.com - 21/02/2013, 07:42 WIB

Oleh M ZAID WAHYUDI

KOMPAS.com - Jatuhnya meteorit atau tertabraknya Bumi oleh asteroid dan komet adalah sebuah keniscayaan. Tapi, kapan hal itu terjadi, tak banyak diketahui manusia. Sejumlah cara dikembangkan para ahli untuk memantau gerak batuan antariksa di sekitar Bumi, juga teknik menangkal saat akan mendekati Bumi.

Musnahnya dinosaurus 65 juta tahun lalu atau terbakarnya hutan seluas Jakarta di Tunguska, Siberia, Rusia, tahun 1908 adalah bukti keganasan batuan antariksa saat menghantam Bumi. Seiring bertambahnya jumlah manusia dan masifnya pertumbuhan kota, ancaman jatuhnya benda-benda langit kian nyata.

”Jatuhnya meteor di Chelyabinsk, Rusia, Jumat (15/2/2013), dan melintasnya asteroid 2012 DA14, Sabtu (16/2/2013), mengingatkan manusia bahwa ribuan obyek seperti itu melintasi di dekat Bumi tiap hari,” kata Ray Williamson, penasihat senior Yayasan Dunia Aman (Secure World Foundation) di sela pertemuan Komite Badan PBB untuk Pemanfaatan Damai Antariksa (Copuos) di Vienna, Austria, seperti dikutip space.com, Minggu (17/2/2013).

Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) melalui program Widefield Infrared Survey Explorer pada 2011 memperkirakan ada 19.500 asteroid berukuran menengah di dekat Bumi. Asteroid itu berdiameter antara 100 meter dan 1.000 meter.

Sekitar 90 persen asteroid berukuran lebih dari 1.000 meter sudah ditemukan. Adapun yang berdiameter puluhan meter, seperti asteroid 2012 DA14 dan yang jatuh di Tunguska, baru 2 persen yang diketahui. Asteroid berdiameter kurang dari 100 meter diperkirakan berjumlah lebih dari 1 juta buah.

”Makin kecil ukurannya, makin banyak jumlahnya, makin sedikit yang sudah diketahui,” ujar Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin.

Masih rendahnya pengetahuan manusia tentang asteroid membuat sejumlah program dan wahana antariksa untuk memantau terus dibuat. Salah satunya adalah teleskop antariksa Sentinel yang dikembangkan lembaga swasta yang dikelola sejumlah mantan antariksawan, Yayasan B612.

Rencana pembuatan teleskop inframerah ini diumumkan 28 Juni 2012. Misi utamanya adalah menemukan 90 persen asteroid berukuran lebih dari 140 meter. Teleskop ini seharusnya juga mampu mendeteksi asteroid lebih kecil dalam misinya selama 6,5 tahun.

Ada pula OSIRIS-REx, wahana yang akan diluncurkan tahun 2016. Wahana ini akan mencegat asteroid RQ36 pada 2020 untuk mengambil sampel batuannya dan mempelajari lebih detail karakter orbitnya. Asteroid ini diperkirakan menabrak Bumi 170 tahun mendatang.

Menendang asteroid

Sesudah mendeteksi keberadaan asteroid, langkah selanjutnya adalah menangkis asteroid yang berpotensi membahayakan Bumi. Para ahli sepakat, langkah terbaik menghindarkan Bumi ditabrak asteroid adalah membelokkan lintasan asteroid.

Teknik membelokkan lintasan asteroid beragam. Sejumlah kemungkinan dikaji mengingat obyek yang disasar adalah batuan yang bergerak cepat mengelilingi Matahari dan berotasi.

Asisten Profesor Fisika dan Astronomi di Universitas Anderson, Indiana, AS, John P Millis dalam tulisan di situs space.about.com menyatakan, teknik sederhana yang diusulkan antara lain mengebom asteroid itu dengan nuklir dari Bumi. Ledakan yang ditimbulkan akan menggeser asteroid dari lintasannya.

Robert Lamb, penulis sains di howstuffworks.com menyatakan, pengeboman bukan untuk menghancurkan asteroid, melainkan mengurai sebagian badan asteroid. Berat yang makin ringan akan mengubah jalur asteroid.

Sebagian ahli menilai, pengeboman adalah berlebihan karena batuan asteroid yang keluar bisa menjadi peluru kosmis yang membahayakan kehidupan sekitar Bumi. ”Minimal, bisa membahayakan satelit geostasioner,” kata dosen Dinamika Benda Kecil dalam Tata Surya, Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung, Budi Dermawan.

Cara lain pun dikembangkan, yaitu mengirim pencegat kinetik (kinetic interceptor). Metode ini mirip permainan bola boling yang menjatuhkan pin hanya dengan sedikit sentuhan. Saat asteroid ditumbuk dengan peralatan berkecepatan 1,6 kilometer per jam, maka asteroid akan bergeser sejauh 273.500 km dari jalur normalnya jika dilakukan 20 tahun sebelumnya.

Lamb menambahkan, ide pembelokan orbit asteroid terkadang seperti bermain-main. Beberapa di antaranya dengan mengecat asteroid dengan warna putih atau memasang layar raksasa di asteroid.

Pantulan sinar warna putih dapat dimanfaatkan sebagai pendorong asteroid. Adapun layar yang dipasang dengan memanfaatkan angin Matahari juga berfungsi sebagai pendorong asteroid menjauhi jalurnya.

Ada pula yang mengusulkan menjerat asteroid dengan serat karbon pada bagian tertentu. Cara lain adalah menempatkan sejumlah roket pada beberapa bagian asteroid untuk mengubah lintasan geraknya.

Namun, banyak ahli pesimistis dengan cara-cara pembelokan orbit asteroid dengan memasang sesuatu pada asteroid. Ini karena implementasi berbagai cara itu tidak semudah dan sesederhana idenya.

”Persoalan ini harus diatasi dengan cara yang logis dan rasional,” kata Philip M Lubin, ahli fisika dari Universitas California, Santa Barbara, AS.

Konversi sinar Matahari

Lubin dan rekan-rekan mengembangkan sistem Directed Energy Solar Targeting of Asteroids and Exploration (DE-STAR). Teknik ini dilakukan dengan menangkap sinar Matahari dan mengonversi menjadi sinar laser pada sebuah panel besar. Sinar ini akan membelokkan jalur asteroid atau menguapkan sebagian badan asteroid.

Elemen dasar yang dibutuhkan untuk mewujudkan wahana ini tersedia cukup banyak. Namun, kesulitannya adalah meningkatkan kapasitas elemen- elemen yang digunakan hingga mampu mengganggu orbit asteroid yang ukurannya cukup besar.

Pengembangan sistem ini pun tak murah. Karena itu, kerja sama antarahli dan badan antariksa global diperlukan untuk menyelamatkan manusia dari ancaman kepunahan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau