Dia menganalisis kimia batuan lava hasil letusan Anak Krakatau sejak tahun 1930 hingga tahun 1981 dan menemukan persentase silika cenderung meningkat. Misalnya letusan pada November 1992 mengandung silika 53,95 persen dan lava pada Juni 1993 kandungannya menjadi 53,97 persen, dan pada Juli 1996 menjadi 54,77 persen.
Pertumbuhan Anak Krakatau juga terlihat dari gejolak dasar kaldera yang tersembunyi di dalam laut. Menyelami kaldera yang tercipta dari letusan Krakatau 1883 itu, di titik penyelaman antara Anak Krakatau dan Pulau Sertung, terlihat ratusan gundukan kecil menyembul dari lantai laut di kedalaman 10 meter.
Sebagian gundukan berdiameter sekitar 30-60 cm itu mengeluarkan "asap" putih, persis gunung yang tengah erupsi. Lapisan putih kekuningan di puncak gundukan mengingatkan pada kebocoran belerang di permukaan Anak Krakatau.
Sutikno Bronto, profesor riset di bidang gunung api dari Pusat Survei Geologi, terkejut saat menyaksikan foto-foto pemandangan bawah laut itu. Tahun 1990, Sutikno bekerja sama dengan sejumlah ahli kelautan dan gunung api dari Universitas Rhode Island (Amerika Serikat), yaitu Haraldur Sigurdsson, Steven Carey, dan Charles Mandeville yang meneliti bawah laut Krakatau. "Pemandangan itu belum ada. Ini temuan baru," kata dia.
Sutikno belum bisa memastikan fenomena "gunungan" kecil di bawah laut Krakatau itu. "Harus diambil sampelnya dan diteliti di laboratorium untuk mengetahuinya. Tetapi, melihat wujudnya, ada kemungkinan itu gas yang mengandung banyak unsur belerang atau solfatara," katanya penuh bersemangat.
Namun, sejurus kemudian, Sutikno terlihat gundah. "Pengetahuan kita tentang kondisi kaldera Krakatau di bawah laut sangat sedikit. Survei bawah laut Krakatau sangat jarang dilakukan karena biayanya sangat mahal," kata dia.
Gelembung udara (bubble) juga keluar tak jauh dari "gunungan" kecil itu, menandakan ada gas yang keluar dari perut bumi. Gelembung juga ditemukan di pinggir pantai di Pulau Rakata yang berkedalaman sekitar tiga meter. "Gundukan dan gelembung udara ini bisa jadi pertanda pembentukan bakal gunung api baru, selain Anak Krakatau yang sudah lebih dulu muncul," kata Sutikno.
Menurut penelitian Sutikno, Krakatau memiliki kecenderungan membentuk beberapa anak gunung api. Seperti sebelum letusan 1883, Pulau Krakatau memiliki tiga gunung api yang saling menyambung. Posisi Anak Krakatau sekarang adalah puncak Danan, yang berada di tengah Pulau Krakatau lama. "Ke depan bisa jadi akan muncul puncak baru di sebelah Anak Krakatau sebagaimana puncak Perbuatan dan Rakata dulu," kata dia.
Saat ini, Anak Krakatau secara teori masih dalam tahap membangun sehingga belum mampu menghasilkan energi letusan yang besar sekali. "Tetapi, tetap saja ada kekecualian," kata Sutikno, menjelaskan kemungkinan lain. "Jika tiba-tiba magma Anak Krakatau berinteraksi dengan air bawah laut atau tiba-tiba ada injeksi magma dari sumber lain yang lebih asam, Anak Krakatau bisa sangat berbahaya."
Pengecualian itu memang bukan hal yang muskil mengingat Selat Sunda yang menjadi rumah bagi Anak Krakatau ini berada di zona penunjaman lempeng benua yang hiperaktif. Selama lempeng Indo-Australia terus menumbuk lempeng Euro-Asia, dapur magma yang menjadi rahim bagi kelahiran "roh" Anak Krakatau terus mendapat suplai energi baru.(Tim Penulis: Ahmad Arif, Indira Permanasari, Yulvianus Harjono, C Anto Saptowalyono)
Ikuti perkembangan Ekspedisi Cincin Api di: www.cincinapi.com atau melalui Facebook: ekspedisikompas atau Twitter @ekspedisikompas
Baca juga artikel-artikel sebelumnya:
- Krakatau Menyingkap Rahasia Kehidupan
- Laba-laba Bangkitkan Kehidupan di Krakatau
- Galapagos Versus Krakatau
- Krakatau Ibarat Buku Kehidupan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.