KOMPAS.com - Di balik kedahsyatan letusannya, Krakatau mengajarkan tentang kekuatan daya hidup. Sedemikian dahsyat daya hancur gunung ini, sedemikian cepat pula kehidupan kembali hadir.
Dimulai dari laba-laba yang merajut jejaring di atas hamparan tabula rasa, aneka jenis makhluk hidup kemudian tumbuh dan berkembang di sana. Krakatau membangun tubuhnya, menghancurkan diri, lalu melahirkan Anak Krakatau, untuk menempa kita agar bersiasat hidup bersanding alam.
***
Kehidupan ternyata hadir dengan cara yang tak terduga. Ketika menyusuri lereng Anak Krakatau yang tertutup lapisan putih belerang dan sepertinya muskil untuk dihuni makhluk hidup, tiba-tiba kami dikagetkan teriakan Tukirin. "Lihat, banyak serangga di sini."
Dengan bergairah, Tukirin mengumpulkan berbagai jenis serangga dari gundukan putih yang mengepulkan asap tebal. Sebagian serangga telah mati terpanggang.
Tersembunyi di dalam cerukan bekas aliran lahar yang dipenuhi pasir dan lapili—kepingan lava berongga bergaris tengah 2-50 mm—Tukirin juga menemukan pakis kecil yang baru tumbuh. Tanaman berwarna hijau pucat itu kontras dengan warna legam tanah.
Secepat kehidupan terenggut, Tukirin menambahkan, secepat itu pula daya hidup datang menggeliat.
Krakatau menjadi ajang pertunjukan daya tahan kehidupan yang luar biasa. Pemusnahan akibat letusan gunung api Krakatau yang hiperaktif selalu diikuti dengan kemunculan kehidupan baru. "Tak lama setelah letusan Krakatau pada Agustus 1883, telah ditemukan laba-laba. Dialah spesies pertama di pulau gunung api ini," kata Tukirin.
Dia kemudian menuturkan kisah tentang kembalinya kehidupan di Krakatau. Kisah berawal dari perjalanan botanikus Belgia, Edmond Cotteau, yang datang ke Rakata pada Mei 1884, atau sembilan bulan setelah letusan. Cotteau datang bersama rombongan ekspedisi yang dibiayai Pemerintah Perancis.
Bertolak dari Batavia menggunakan kapal tongkang pengangkut batu, rombongan kesulitan mendarat di Rakata. Pantai yang mendangkal dipenuhi abu dan batu apung nyaris mustahil didekati kapal. Setelah mengelilingi pulau itu, mereka akhirnya menemukan ceruk sempit di sudut barat laut, yang diapit dinding lava terjal berlapis abu dan batu apung.