KOMPAS.com — Semula kami tak menganggap aneh lapisan putih kekuningan yang menutupi sebagian besar punggung Anak Krakatau. Hingga dua bulan kemudian, di ruang pusat pemantauan gunung api di Bandung, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono menunjukkan foto terbaru yang diambil dari Anak Krakatau. Saat itu 20 Oktober 2011, status Anak Krakatau yang selama beberapa bulan Waspada dinaikkan menjadi Siaga sejak 30 September 2011.
"Anak Krakatau seperti 'panuan', putih semua," katanya, sambil menunjukkan foto lapisan putih yang nyaris menutupi seluruh tubuh Krakatau. Warna putih kekuningan, menurut Surono, menandakan adanya gas belerang yang bocor karena tingginya tekanan dari dalam perut gunung. "Fenomena kebocoran sedemikian luas ini belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Surono.
Tak hanya lapisan putih, kompleks Krakatau juga mengirim ribuan gempa setiap harinya. "Lihatlah, nyaris tiap menit, Krakatau mengirim lima kali gempa. Dalam sehari bisa lebih dari 5.000 gempa. Ini tidak biasanya," kata Surono, menunjukkan garis di layar komputer yang naik-turun secara hiperaktif. Komputer di Ruang Pemantauan Gunung Api di Bandung itu tersambung dengan dua alat deteksi gempa di Anak Krakatau.
Gempa yang terjadi di gunung api berstatus Siaga lain biasanya hanya puluhan hingga ratusan kali. Oleh karena itu, polah Anak Krakatau memusingkan. Surono memperkirakan, letusan Anak Krakatau—jika pun meletus—kemungkinan lebih besar dibandingkan rentetan letusan tahun 2007.
Surono dan stafnya terus berjaga-jaga memantau perkembangan Anak Krakatau. Walaupun pada saat yang bersamaan, enam gunung api berstatus Siaga dan 16 lainnya Waspada, perhatian para vulkanolog ini tak bisa lepas dari Anak Krakatau. Perkembangan Anak Krakatau terus terpampang di layar komputer Pemantauan Gunung Api itu. Nyaris sepanjang tahun, gunung ini meletus. Biasanya hanya rehat beberapa saat untuk kemudian meletus lagi.
Sebagaimana suksesi alam yang terus berkembang di atasnya, Gunung Anak Krakatau juga terus tumbuh dengan cepat. Sangat cepat. "Pertama kali ke sini tahun 1980-an, hanya butuh setengah jam untuk sampai di puncaknya. Sekarang gunung ini sudah jauh lebih tinggi. Dua jam mendaki juga belum tentu bisa sampai puncak," kata Tukirin.
Anak Krakatau, yang muncul dari dasar laut sedalam 180 meter kini menjelma menjadi sosok yang megah. Sudradjat (1982) mencatat, dalam lima tahun, kawah Anak Krakatau tumbuh dari ketinggian 8,93 mdpl menjadi 66,8 mdpl pada tahun 1933, dan menjadi 132,32 mdpl pada 1941, lalu menjadi 169,67 mdpl pada 1968. Walaupun beberapa ambruk karena terjadi letusan, secara bertahap Anak Krakatau terus bertambah tinggi. Penambahan tinggi juga diikuti dengan bertambahnya luas pulau. Pada pengukuran tahun 1930, panjang Pulau Anak Krakatau masih 450 meter x 900 meter, tetapi pada 1981 telah mencapai 1.950 meter x 2.000 meter.
Dengan menganalisis kecepatan pertumbuhannya, Sutikno Bronto (1990) memperkirakan, pada tahun 2040 volume Gunung Anak Krakatau akan melebihi volume Gunung Rakata, Danan, dan Perbuatan menjelang letusan tahun 1883.
Meskipun Anak Krakatau menunjukkan tanda-tanda semakin tinggi dan aktif, menurut Surono, publik tak perlu terlalu cemas. Krakatau masih dalam tahap membangun. ”Sifat magma Anak Krakatau belum seperti ibunya yang dacite (kental). Sekarang magma masih basaltik (encer) dan miskin gas. Meletus mungkin iya, dan bisa lebih besar dibandingkan tahun 2007, tetapi belum bisa membongkar tubuh gunung seperti pendahulunya saat meletus 1883,” kata dia.
Geolog Belanda, Reinout Willem van Bemmelen (1948), menyebutkan, perubahan sifat magma dari basaltik ke dacite di Anak Krakatau kemungkinan memakan waktu beberapa abad. Namun, proses ke arah itu ternyata tengah berjalan. Geolog Belanda, George Adriaan De Neve (1981), mengamati adanya perubahan kimia magma di Krakatau dari basa yang ditandai dengan kadar silika (SiO2) rendah ke asam dengan kadar silika (SiO2) tinggi.
Dia menganalisis kimia batuan lava hasil letusan Anak Krakatau sejak tahun 1930 hingga tahun 1981 dan menemukan persentase silika cenderung meningkat. Misalnya letusan pada November 1992 mengandung silika 53,95 persen dan lava pada Juni 1993 kandungannya menjadi 53,97 persen, dan pada Juli 1996 menjadi 54,77 persen.
Pertumbuhan Anak Krakatau juga terlihat dari gejolak dasar kaldera yang tersembunyi di dalam laut. Menyelami kaldera yang tercipta dari letusan Krakatau 1883 itu, di titik penyelaman antara Anak Krakatau dan Pulau Sertung, terlihat ratusan gundukan kecil menyembul dari lantai laut di kedalaman 10 meter.
Sebagian gundukan berdiameter sekitar 30-60 cm itu mengeluarkan "asap" putih, persis gunung yang tengah erupsi. Lapisan putih kekuningan di puncak gundukan mengingatkan pada kebocoran belerang di permukaan Anak Krakatau.
Sutikno Bronto, profesor riset di bidang gunung api dari Pusat Survei Geologi, terkejut saat menyaksikan foto-foto pemandangan bawah laut itu. Tahun 1990, Sutikno bekerja sama dengan sejumlah ahli kelautan dan gunung api dari Universitas Rhode Island (Amerika Serikat), yaitu Haraldur Sigurdsson, Steven Carey, dan Charles Mandeville yang meneliti bawah laut Krakatau. "Pemandangan itu belum ada. Ini temuan baru," kata dia.
Sutikno belum bisa memastikan fenomena "gunungan" kecil di bawah laut Krakatau itu. "Harus diambil sampelnya dan diteliti di laboratorium untuk mengetahuinya. Tetapi, melihat wujudnya, ada kemungkinan itu gas yang mengandung banyak unsur belerang atau solfatara," katanya penuh bersemangat.
Namun, sejurus kemudian, Sutikno terlihat gundah. "Pengetahuan kita tentang kondisi kaldera Krakatau di bawah laut sangat sedikit. Survei bawah laut Krakatau sangat jarang dilakukan karena biayanya sangat mahal," kata dia.
Gelembung udara (bubble) juga keluar tak jauh dari "gunungan" kecil itu, menandakan ada gas yang keluar dari perut bumi. Gelembung juga ditemukan di pinggir pantai di Pulau Rakata yang berkedalaman sekitar tiga meter. "Gundukan dan gelembung udara ini bisa jadi pertanda pembentukan bakal gunung api baru, selain Anak Krakatau yang sudah lebih dulu muncul," kata Sutikno.
Menurut penelitian Sutikno, Krakatau memiliki kecenderungan membentuk beberapa anak gunung api. Seperti sebelum letusan 1883, Pulau Krakatau memiliki tiga gunung api yang saling menyambung. Posisi Anak Krakatau sekarang adalah puncak Danan, yang berada di tengah Pulau Krakatau lama. "Ke depan bisa jadi akan muncul puncak baru di sebelah Anak Krakatau sebagaimana puncak Perbuatan dan Rakata dulu," kata dia.
Saat ini, Anak Krakatau secara teori masih dalam tahap membangun sehingga belum mampu menghasilkan energi letusan yang besar sekali. "Tetapi, tetap saja ada kekecualian," kata Sutikno, menjelaskan kemungkinan lain. "Jika tiba-tiba magma Anak Krakatau berinteraksi dengan air bawah laut atau tiba-tiba ada injeksi magma dari sumber lain yang lebih asam, Anak Krakatau bisa sangat berbahaya."
Pengecualian itu memang bukan hal yang muskil mengingat Selat Sunda yang menjadi rumah bagi Anak Krakatau ini berada di zona penunjaman lempeng benua yang hiperaktif. Selama lempeng Indo-Australia terus menumbuk lempeng Euro-Asia, dapur magma yang menjadi rahim bagi kelahiran "roh" Anak Krakatau terus mendapat suplai energi baru.(Tim Penulis: Ahmad Arif, Indira Permanasari, Yulvianus Harjono, C Anto Saptowalyono)
Ikuti perkembangan Ekspedisi Cincin Api di: www.cincinapi.com atau melalui Facebook: ekspedisikompas atau Twitter @ekspedisikompas
Baca juga artikel-artikel sebelumnya:
- Krakatau Menyingkap Rahasia Kehidupan
- Laba-laba Bangkitkan Kehidupan di Krakatau
- Galapagos Versus Krakatau
- Krakatau Ibarat Buku Kehidupan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.