Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Durban dan Peta Jalan Bali

Kompas.com - 30/11/2011, 10:32 WIB

Perundingan dalam kerangka Protokol Kyoto seharusnya sudah tuntas pada 2009 sehingga cukup waktu untuk proses hukum selanjutnya seperti ratifikasi. Akan tetapi, negara maju menentang memberikan komitmen kedua karena dianggap sebagai komitmen unconditional.

Menurut kelompok negara maju, negara berkembang seperti China, India, Brasil, dan Afrika Selatan juga termasuk major emitters (penghasil emisi karbon utama). Maka negara maju menginginkan beban pengurangan emisi gas rumah kaca tak hanya dipikul negara dalam Annex 1, tetapi juga oleh pencemar besar lain. Malah Jepang dan Australia mengusulkan segera diluncurkan perundingan untuk merumuskan instrumen baru yang mengikat secara hukum (legally binding instrument). Dengan demikian, ada rezim hukum baru yang juga mengikat China, India, Brasil, dan Afrika Selatan selain negara Annex 1.

Posisi negara berkembang

Kelompok 77 yang merupakan kelompok perunding negara berkembang bereaksi keras terhadap posisi negara maju. Empat hal dikemukakan sebagai dasar argumentasi.

Pertama, kesanggupan negara maju untuk mengurangi emisi GRK ternyata jauh di bawah target, tidak sesuai dengan kajian iptek dan dengan level tanggung jawab sebagai pencemar besar pendahulu.

Kedua, ada upaya menggoyahkan sistem dari kesepakatan terdahulu yang merupakan hasil perundingan lama. Seakan suatu proses negosiasi baru dalam mengubah aturan main yang ada.

Ketiga, tidak menghormati prinsip yang telah disepakati mengenai Prinsip Tanggung Jawab Bersama tapi Beda (equity and common but differentiated responsibility).

Keempat, negara-negara maju dianggap sering memberikan janji kosong untuk membantu negara berkembang mengenai keuangan, teknologi, serta pengembangan kapasitas dan adaptasi. Di Kopenhagen, beberapa negara maju berjanji memberikan dana segar sekitar 30 miliar dollar AS untuk periode 2009-2012. Janji yang lain adalah memberikan dana tambahan 100 miliar dollar AS setiap tahun setelah 2020. Ternyata, jumlahnya tidak seperti harapan dan kebanyakan adalah dana dari komitmen lama.

China dan India berargumen bahwa di negara mereka perbandingan emisi GRK dengan jumlah penduduknya sangat rendah dibandingkan dengan negara maju. Maka mereka menganggap tidak adil jika negara berkembang mendapat beban yang sama. Karena tanggung jawab historis, negara-negara maju juga memiliki emisi per kapita tinggi dibandingkan dengan emisi per kapita negara berkembang.

Menghadapi perbedaan sikap ini, pandangan masyarakat internasional berpaling ke Indonesia. Mereka menganggap Indonesia mewakili kedua belah argumen yang berseteru. Pertama, Indonesia adalah negara kepulauan sehingga sangat peka terhadap perubahan permukaan air laut. Kedua, Indonesia adalah negara berkembang yang berpacu membangun negeri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com