Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Segara Anakan dan "Benteng" Hutan Bakau

Kompas.com - 28/10/2011, 03:35 WIB

Pada akhirnya, krisis Segara Anakan, menurut Edy, tak hanya merupakan bencana ekosistem, tetapi berujung pada bencana ekonomi. Potensi ekonomi yang lenyap akibat degradasi lingkungan, diperkirakan mencapai Rp 72 miliar per tahun.

Ekosistem mangrove juga menjadi salah satu sumber makanan, pembiakan, dan pembesaran alami dari sekitar 45 jenis ikan laut, 85 jenis burung, dan beragam satwa lain. Bahkan, beberapa spesies, seperti bangau bluwok (Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), dan ikan sidat laut di kawasan itu terancam punah.

”Harus dicatat bahwa krisis mangrove di daerah itu telah memicu degradasi lingkungan yang menyumbang pemanasan global,” ungkap Prof Edy yang juga Rektor Unsoed.

Penyelamatan mangrove sebagai upaya menekan degradasi lingkungan, telah didengungkan Pemerintah Kabupaten Cilacap sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan dalam setiap kesempatan, Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamudji, menjadikan reboisasi mangrove sebagai gerakan bersama.

Meski demikian, jauh sebelumnya, warga Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, yang tinggal di sekitar Segara Anakan telah mengawali kegiatan penyelamatan mangrove. Virus tersebut pertama kali ditularkan oleh Thomas Hery Wahyono (46), yang pada 2004 membentuk kelompok Krida Wana Lestari dan berubah nama menjadi Patra Krida Wana Lestari pada tahun 2009.

Setelah dimulai secara mandiri oleh Wahyono sejak 1999, lambat laun semangat menyelamatkan tanaman mangrove menjadi kesadaran bersama warga. Meski awalnya didasari pada kepentingan ekonomi akibat kian sulitnya mencari kayu untuk pembuatan rumah, secara bertahap, warga Desa Ujung Alang yang merupakan salah satu daerah terpencil di Cilacap, mulai memahami penanaman mangrove di sekitar rumah dapat meningkatkan kelestarian ekosistem yang berkelanjutan.

Pada mulanya, kelompok yang kini beranggotakan 33 orang ini mencari benih bakau di hutan-hutan dengan perahu. Setelah terkumpul cukup banyak, benih tersebut ditanam di hutan hingga mendekati perairan laguna. Luas areal yang telah ”di-mangrove-kan” oleh kelompok ini kini lebih dari 65 hektar. Belum ditambah tanaman mangrove yang ditanam secara mandiri oleh warga desa.

Menurut Slamet (57), anggota Kelompok Patra Krida Wana Lestari, penanaman mangrove menggunakan beberapa pola tanam, seperti sistem tanam biji dan pola tanam cancang. Bermula dari biji mangrove yang diproses dengan polybag, yakni memasukkan bibit ke tanah yang berbungkus plastik selama empat bulan. Ketika sudah mencapai usia empat bulan, bibit dipindah ke lokasi tanam di perairan.

Proses selanjutnya adalah membiarkan mangrove muda hidup dengan habitat laut, misalnya harus bersahabat dengan pasang surutnya air laut. Karena air pasang dan surut itulah yang justru dibutuhkan oleh pengembangan mangrove.

”Jadi kalau nelayan menganggap air pasang surut itu sebagai bencana, bagi kami itu sebagai berkah,” kata Slamet.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com