Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Segara Anakan dan "Benteng" Hutan Bakau

Kompas.com - 28/10/2011, 03:35 WIB

Oleh Gregorius Magnus Finesso

Pembukaan usaha tambak dengan membabat hutan bakau atau mangrove di sekitar Laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, awal 1995, memperparah degradasi lingkungan di kawasan yang berada di pesisir selatan Pulau Jawa tersebut. Sedimentasi lumpur merambah muara setebal puluhan juta meter kubik dari hulu Sungai Citanduy. 

Penelitian Science for the Protection of Indonesian Coastal Marine Ecosystems (Spice) bersama Kementerian Riset dan Teknologi dan sejumlah perguruan tinggi nasional, mencatat sedimentasi akibat erosi tanah yang mengendap di laguna mencapai satu juta meter kubik per tahun.

Endapan aluvial ini disumbang Sungai Citanduy sebesar 760.000 meter kubik per tahun dan sisanya dari Sungai Cimeneng, Cibeureum, dan Cikonde.

Akibat endapan tersebut, muncul tanah timbul (mud land) yang mempersempit kawasan perairan yang terbentuk akibat keberadaan Pulau Nusakambangan tersebut. Jika pada 1984 luas Segara Anakan mencapai 2.906 hektar (ha), kini tinggal sekitar 700 hektar.

Ini diperparah penyusutan luas areal hutan mangrove (bakau) di sekitar Pulau Nusakambangan, yang merupakan ekosistem mangrove terkaya di Pulau Jawa dengan 30 spesiesnya. Sejak 1984, sekitar 7.000 hektar hutan mangrove hancur di kawasan laguna.

Data Dinas Kelautan Perikanan dan Pengelola Sumber Daya Kawasan Segara Anakan (KP2SDKSA) Cilacap menyebutkan, luas areal bakau pada 1984 mencapai 15.000 hektar, namun kini tersisa 8.000 hektar.

Koordinator tim peneliti Segara Anakan dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Edy Yuwono, mengatakan, hancurnya hutan mangrove di sekitar laguna secara langsung maupun tidak langsung telah memperparah degradasi lingkungan.

”Selain menyebabkan resapan air berkurang, berbagai biota laut juga tak bisa berkembang karena kehilangan habitatnya,” jelasnya.

Potensi ekonomi

Pada akhirnya, krisis Segara Anakan, menurut Edy, tak hanya merupakan bencana ekosistem, tetapi berujung pada bencana ekonomi. Potensi ekonomi yang lenyap akibat degradasi lingkungan, diperkirakan mencapai Rp 72 miliar per tahun.

Ekosistem mangrove juga menjadi salah satu sumber makanan, pembiakan, dan pembesaran alami dari sekitar 45 jenis ikan laut, 85 jenis burung, dan beragam satwa lain. Bahkan, beberapa spesies, seperti bangau bluwok (Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), dan ikan sidat laut di kawasan itu terancam punah.

”Harus dicatat bahwa krisis mangrove di daerah itu telah memicu degradasi lingkungan yang menyumbang pemanasan global,” ungkap Prof Edy yang juga Rektor Unsoed.

Penyelamatan mangrove sebagai upaya menekan degradasi lingkungan, telah didengungkan Pemerintah Kabupaten Cilacap sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan dalam setiap kesempatan, Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamudji, menjadikan reboisasi mangrove sebagai gerakan bersama.

Meski demikian, jauh sebelumnya, warga Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, yang tinggal di sekitar Segara Anakan telah mengawali kegiatan penyelamatan mangrove. Virus tersebut pertama kali ditularkan oleh Thomas Hery Wahyono (46), yang pada 2004 membentuk kelompok Krida Wana Lestari dan berubah nama menjadi Patra Krida Wana Lestari pada tahun 2009.

Setelah dimulai secara mandiri oleh Wahyono sejak 1999, lambat laun semangat menyelamatkan tanaman mangrove menjadi kesadaran bersama warga. Meski awalnya didasari pada kepentingan ekonomi akibat kian sulitnya mencari kayu untuk pembuatan rumah, secara bertahap, warga Desa Ujung Alang yang merupakan salah satu daerah terpencil di Cilacap, mulai memahami penanaman mangrove di sekitar rumah dapat meningkatkan kelestarian ekosistem yang berkelanjutan.

Pada mulanya, kelompok yang kini beranggotakan 33 orang ini mencari benih bakau di hutan-hutan dengan perahu. Setelah terkumpul cukup banyak, benih tersebut ditanam di hutan hingga mendekati perairan laguna. Luas areal yang telah ”di-mangrove-kan” oleh kelompok ini kini lebih dari 65 hektar. Belum ditambah tanaman mangrove yang ditanam secara mandiri oleh warga desa.

Menurut Slamet (57), anggota Kelompok Patra Krida Wana Lestari, penanaman mangrove menggunakan beberapa pola tanam, seperti sistem tanam biji dan pola tanam cancang. Bermula dari biji mangrove yang diproses dengan polybag, yakni memasukkan bibit ke tanah yang berbungkus plastik selama empat bulan. Ketika sudah mencapai usia empat bulan, bibit dipindah ke lokasi tanam di perairan.

Proses selanjutnya adalah membiarkan mangrove muda hidup dengan habitat laut, misalnya harus bersahabat dengan pasang surutnya air laut. Karena air pasang dan surut itulah yang justru dibutuhkan oleh pengembangan mangrove.

”Jadi kalau nelayan menganggap air pasang surut itu sebagai bencana, bagi kami itu sebagai berkah,” kata Slamet.

Mangrove lalu dibiarkan tumbuh di sepanjang perairan selama 6 atau 7 tahun, yang kemudian bijinya bisa digunakan lagi sebagai mangrove untuk generasi berikutnya. Meski demikian, mangrove tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus dilakukan pemeliharaan dengan membersihkan ilalang dan benalu yang dapat mengganggu pertumbuhan mangrove. Hal itu dilakukan setiap hari Jumat secara bersama oleh warga.

Kelompok Wahyono tidak pernah menjual bibit mangrove kepada warga sekitar. Warga yang hendak menanam, dibagikan bibit secara gratis.

Gerakan tersebut mendapat tanggapan baik dari berbagai pihak. Bahkan, PT Pertamina Unit Pengolahan IV Cilacap pada 2009 bekerja sama dengan warga Dusun Lempong Pucung memberi bantuan bibit mangrove sebanyak 10.000 batang. Apalagi, Patra Krida Wana Lestari kini menjadi kelompok binaan Pertamina dan selalu dilibatkan dalam program penanaman mangrove di wilayah Cilacap.

Sekretaris Desa Ujung Alang, Siswanto, mengungkapkan, saat ini, hampir 1.220 keluarga warga desanya telah menanam mangrove di sekitar pekarangan rumahnya. Bahkan, lewat pendekatan dalam tiap pertemuan kecamatan, semangat menanam mangrove juga dilakukan warga desa tetangga, seperti Klaces, Ujung Gagak, dan Panikel. Menghadapi perambah hutan mangrove, warga setempat tak segan beradu mulut dan mengejar mereka.

”Yang kami lakukan mungkin tak seberapa besar menahan kerusakan alam di sini (Segara Anakan). Tapi setidaknya kami berbuat sesuatu,” kata Siswanto.

Dia menyayangkan mandeknya program penyelamatan Segara Anakan pemerintah pusat. Bantuan dana dari USAID (United States Agency for International Development) untuk penyudetan Sungai Citanduy juga ditarik sejak 2003 akibat tarik-menarik kepentingan dengan sejumlah warga di Pantai Pangandaran, Ciamis, yang tak kunjung selesai.

Terlepas dari polemik itu, setidaknya Desa Ujung Alang kini berangsur asri dan teduh dengan rerimbunan mangrove. Tak hanya aspek lingkungan, warga mulai menuai rezeki dari tambak udang yang disebar di sekeliling kawasan mangrove di pekarangan rumah.

Pertumbuhan ikan dan udang, menurut Siswanto, lebih cepat karena mendapat makanan tambahan dari akar-akar mangrove.

Upaya penanaman mangrove warga Ujung Alang ini sudah pasti tak cukup kuat menahan laju kehancuran kawasan Laguna Segara Anakan yang terjadi puluhan tahun. Namun setidaknya, mereka menolak menyerah terhadap bencana lingkungan yang sudah bukan lagi mengancam, tetapi sudah mereka alami saat ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com