Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkorban demi Badak Jawa

Kompas.com - 05/08/2011, 08:07 WIB

Proyek JRSCA muncul karena badak jawa termasuk mamalia besar yang dilindungi dan langka. Fauna yang memakan pucuk daun (bukan rumput seperti badak india atau badak afrika) itu termasuk kategori daftar merah pada International Union for Conservation of Nature (IUCN), yakni satwa yang sangat terancam punah. Selain itu, masuk daftar Apendiks I CITES (sangat dilindungi).

Badak jawa ini pernah ada di seluruh Pulau Jawa, Sumatera, hingga Indochina. Di Vietnam, jumlahnya tinggal 8 ekor dan berada di Cagar Alam Cat Loc, berdekatan dengan Taman Nasional Cat Tien. Di Indonesia, menurut data Kementerian Kehutanan, selama 30 tahun terakhir jumlahnya hanya 50 ekor hingga 60 ekor. Namun, pengamatan WWF Indonesia menggunakan kamera tersembunyi hanya menangkap gambar 29 badak jawa di TNUK.

Selain badak jawa, di TNUK berdiam sekitar 500 ekor banteng jawa (Bos javanicus), macan tutul (Panthera pardus), owa (Hylobates moloch), rusa (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), jelarang (Ratufa bicolor), dan ajag (Cuon alpinus). Ini membuat kawasan konservasi di ujung barat Pulau Jawa tersebut—bersama Cagar Alam Krakatau—ditetapkan sebagai Situs Warisan Alam Dunia yang ditetapkan UNESCO pada tahun 1991.

Hampir seluruh perhatian pencinta mamalia kini tertuju pada badak jawa yang sudah sulit dilihat secara langsung. Saat memasuki hutan, biasanya orang hanya menjumpai jejak kaki, kotoran, bekas makanan, serta kubangan hewan yang berbobot 900 kilogram-2.300 kilogram dan panjang 2 meter-4 meter serta tinggi 1,5 meter tersebut.

"Badak itu pemalu dan memiliki penciuman serta pendengaran yang tajam. Mereka akan menghindar ketika radarnya menangkap keberadaan manusia," kata Marcellus Adi, dokter hewan yang 20 tahun aktif dalam konservasi badak.

Sulitnya badak dijumpai menjadi salah satu alasan pembangunan JRSCA. International Rhino Foundation, Yayasan Badak Indonesia, dan Balai TNUK sedang membangun JRSCA dengan pertimbangan untuk memudahkan pengamatan demi peningkatan populasi badak jawa.

Dibagi tiga

JRSCA dibangun di tengah kawasan TNUK dengan batas laut di sisi utara dan selatan. Adapun di timur dari Cilintang menuju Aermokla dibangun pagar beraliran listrik sepanjang 20 kilometer, demikian pula di barat dari Pos Laban menuju Karang Ranjang sejauh 2 kilometer. Pagar JRSCA membagi TNUK menjadi tiga bagian, Semenanjung Ujung Kulon, JRSCA, dan Gunung Honje.

Guru Besar Ekologi Satwa Liar dari Institut Pertanian Bogor Hadi S Alikodra mengingatkan, pemagaran bisa menjadi bumerang. Hal itu karena maksud hati ingin meningkatkan jumlah badak, tetapi badak dan hewan lain bisa mati karena areal jelajahnya dibatasi. Kebiasaan fauna makan di suatu lokasi akan terhambat oleh pagar beraliran listrik sehingga mereka akan kelaparan.

Pemilik proyek ini, Yayasan Badak Indonesia, melalui ketuanya, Widodo Sukohadi Ramono, meyakini bahwa pembangunan JRSCA bisa meningkatkan jumlah badak. Ia menyebutkan tiga faktor bisa diatasi dengan pembuatan JRSCA, di antaranya adalah mencegah penyakit akibat penularan kerbau kepada badak serta menghilangkan langkap (palem-paleman yang menjadi gulma dan mengurangi persediaan makan).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com